Friday 20 January 2017

METODE PENELITIAN KUALITATIF PENDEKATAN STUDY KASUS “ INTERAKSI SIMBOLIK ”

sumber gambar : google images

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Teori interaksionisme simbolik merupakan teori sosiologi modern. Dalam interkasionisme simbolik dapat dilihat bhawa interaksionisme simbolik memusatkan perhatian lebih kepada individu, tentang bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain dengan simbol signifikan dalam bentuk bahasa.
Ilmuan yang memiliki andil dalam merintis interaksionisme simbolik adalah : James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, Willian I. Thomas, dan George Herbert Mead. Namun , dari antara semua ilmuan tersebut, George Herbert Mead yang paling populer sebagai peletak dasar teori tersebut. George Herbert Mead mengembangkan teori interaksi  simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Dikenal telah mengajar satu generasi ilmuan yang brilian dalam bidang mereka, Mead menulis banyak artikel. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkebang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni Mind, Self, and Society (1934). Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui inter pretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswa dan pengikutnya, terutama salah satu mahasiswanya, Harbert Blumer. Justru Blumer lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik”mpada tahun 1937 dan mempopulerkannya dikalangan komunitas akademik.
Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif – perspektif lain, Seperti “Teori Penjuluka” (Labeling Theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance), Perspektif Dramaturgis dari Ervin Goffman, dan etnometodologi dari Harold Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dikatakan sebagai varian interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1950 Manford H. Kuhn mengaplikasikan pandangannya dengan menggunakan tekhnik  “Tes Dua Puluh Pernyataan” (The Twenty Statement Test atau TST), yang dikenal juga dengan Tes “Siapa aku?” (the “Who am I?” test) dalam upaya mentransformasikan konsep-konsep interaksinisme simbolik kedalam variable –variabel yang mungkin berguna dalam menghasilkan dan menguji proposisi-proposisi empiris. Ia misalnya merumuskan definisi-definisi operasional yang eksplisit tentang “diri”, “tindakan sosial,” objek sosial,” “kelompok rujukan,”dan konsep-konsep lainnya. Pendekatan Kuhn lazim disebut sebagai “teori diri” (self theory), namun teori yang dikembangkan oleh kuhn dianggap menyimpang dari arus utama (interaksionisme simbolik Mahzab Chicago) yang dikembangkan oleh Mead , Blumer, Goffman, dan ilmuan-ilmuan interpretivis lainnya.
Kuhn menulis “Sikapnya terhadap dirinya sendiri sebagai suatu objek merupakan indeks terbaik terhadap rencana tindakan ini , dank arena itu terhadap tindakan itu sendiri, dalam arti bahwa rencana-rencana tindakan itu merupakan titik pangkal yang memungkinkan penilaian –diri dan penilaian lainnya dibuat.
Menurut teoretisi interaksi simbolik, kehidupan social pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol.” Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan symbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas symbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi social.

B.     Rumusan Masalah

Dalam makalah kami, kami akan mengangkat beberapa rumusan masalah mengenai Interaksionisme Simbolik . Antara lain :
1.      Mengetahui Pengertian dan Apa itu Interaksioneisme Simbolik ?
2.      Prinsip dasar Interaksionisme Simbolik ?
3.      Tujuan Interaksionisme Simbolik ?
4.      Bagaimana Proses pemaknaan dan Prosedur penelitian Interaksionisme simbolik ?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      PENGERTIAN METODE INTERAKSI SOMBOLIK
Interraksi simbolik dapat dibilang sebgai interaksi sosial . interaksi sosial adalah suatu pendekatan yang banyak digunakan dalam psikologi sosial . Psikologi sosial sendiri terkait dengan pemikiran George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Herbert Menegaskan bahwa setiap tindakan individu adalah produk masyarakat, lebih khusus lagi produk interaksi sosial. Manusia menyadari diri dengan membuka diri kepada orang lain, sekaligus juga dengan menjadi objek pada dirinya sendiri(1). Menurut Meltzer, interaksionisme simbolik(2) dianggap relative homogeny, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mazhab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda.
Teori Max Weber: payung teori interaksi simbolik
Weber mendefinisikan tindakan social sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Bagi Weber, masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir dan melakukan tindakan-tindakan social yang bermakna.
Menurut Schutz, orang-orang begitu saja menerima bahwa dunia keseharian itu eksis, dan bahwa orang lain berbagi pemahaman atas ciri-ciri penting dunia ini. Dalam pandangan Schutz kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan (typication) yang telah terbentuk  dan dianut semua anggota suatu budaya, terdiri dari mitos, pengetahuan budaya, dan akal sehat (common sense). Schutz, menyatakan para actor social menafsirkan sifat realitas yang relavan dengan kepentingan mereka, dus realitas menjadi fungsi struktur relavansi mereka dalam kehidupan sehari-hari.
(1)   Metode Penelitian Kualitatif (Prof. Dr. Conny R. Semiawan) : hal. 86
(2)   Metodologi Penelitian Kualitatif (Dr. Deddy Mulyana, M.A.): hal. 59-89
Teori-teori yang dikemukakan tokoh-tokoh di atas bersifat konvergen dan saling melengkapi.

Metodologi Interaksionis Simbolik

Interaksionisme simbolik termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualiatif yang berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dengan suatu lingkungan yang alamiah alih-alih lingkungan yang artifisial seperti eksperimen. Lindlof dan Meyer memasukkan semua penelitian naturalistic ke dalam paradigma interpretif (3).
Secara lebih spesifik, Denzin mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simolik, yaitu:
Ø Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
Ø Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain namun peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut.
Ø Peneliti harus mengaitkan symbol dan definisi subjek dengan hubungan social dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
Ø Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
Ø Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, juga bentuk perilaku yang statis.
Ø Pelaksanaan penelitian paling baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
Ø Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan dan kemudian operasional. Teori yang layak menjadi teori formal, bukan teori agung atau teori menengah dan proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
Interaksionisme simbolik merupakan suatu perspektif teoretis, namun juga sekaligus orientasi metodologis . 
(3)   Metodologi Penelitian Kualitatif (Dr. Deddy Mulyana, M.A.): hal. 148

Akan tetapi, metodologi yang disarankan oleh kaum interaksionis sebenarnya tidak eksklusif, namun mirip atau tumpang tindih dengan metode penelitian yang dilakukan para peneliti berpandangan fenomenologis lainnya.
Meskipun perhatian interaksionisme simbolik pada aspek-aspek fenomenologis perilaku manusia mempunyai implikasi metodologis. Dalam konteks inilah, beberapa pakar interaksionisme simbolik pasca Mead, antara lain Herbert Blumer, Howard S. Becker, dan Norman K. Denzin, berusaha menjabarkan bagaimana kaum interasionis seharusnya melakukan penelitian mereka.

Ciri Interaksi simbolik

Ø  Herbert Mead menggunakan bahasa dalam melengkapi sarana informasi untuk berinteraksi
Ø  Semua berkaitan pemaknaan dengan symbol
Ø  Berkaitan juga dengan diri sendiri dalam pemaknaan yang kita pahami
Ø  Konsep-konsep dengan apa yang dipersepsi orang tentang diri kita dengan persepsi kita sendiri dengan memaknai persepsi dengan orang sekitarnya
Ø  Interaksi simbolik: berkaitan dengan makna bagaimana sebuah cerita menyampaikan agar si penerima ini paham

Banyak pakar setuju bahwa pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan beberapa cabang filsafat antara lain pragmatisme dan behaviorisme.

Pragmatisme

Dirumuskan oleh John Dewey, William James, Charles Peirce, dan Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan.
Ø  Pertama, realitas yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
Ø  Kedua, kaum pragmatis juga percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Semakin berguna pengetahuan (fakta, definisi, asumsi, nilai, gagasan, pengalaman, dan sebagainya) yang kita terapkan dalam kehidupan, semakin besar kepercayaan kita terhadapnya.
Ø  Ketiga, manusia mendefinisikan objek fisik dan objek social yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka.
Ø  Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.

Behaviorisme

Meskipun pandangan interaksi simbolik sangat berbeda dengan behaviorisme, pandangan Mead dipengaruhi oleh paham tersebut. Mead setuju dengan behaviorisme dalam arti manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan. Menurut Mead, behaviorisme social merujuk kepada deskripsi perilaku pada tingkat yang khas manusia. Jadi, dalam pandangan behaviorisme social, konsep mendasarnya adalah tindakan social (social act), yang juga mempertimbangkan aspek tersembunyi perilaku manusia. Mead substansi dan eksistensi perilaku manusia hanya dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan basis sosialnya. Dapat disimpulkan, bahwa Mead memperluas teori behavioristik ini dengan memasukkan apa yang terjadi antara stimulus dan respons.

Bagi penganut interaksi simbolik, masyarakat adalah proses interaksi simbolik dan pandangan ini memungkinkan mereka menghindari problem-problem strukturalisme dan idealism dan mengemudikan jalan tengah di antara kedua pandangan tersebut.
Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis berikut:
Ø  Individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek social (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Jadi, individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.
Ø  Makna adalah produk interaksi social, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
Ø  Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi social. Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternative-alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan.
George Ritzer meringkaskan teori interaksi simbolik ke dalam prinsip-prinsip, sebagai berikut:
1.      Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir.
2.      Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi social.
3.      Dalam interaksi social orang belajar makna dan symbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir.
4.      Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia.
5.      Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan symbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi.
6.      Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative, dan kemudian memilih salah satunya.
7.      Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan masyarakat.

Harbert Blumer dan George Harbert Mead adalan yang pertama-tama mendefinisikan teori Symbolic Interactionism.
Blumer menutarakan tiga premis utama interaksionisme simbolik yaitu :                 
Ø  Pemaknaan (Meaning)
o   Manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya didasari atas pemaknaan yang dikenakan mereka kepada orang lain . yang Artinya , Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri.
Ø  Bahasa (Language)
o   Makna berasal dari hasil proses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language), dalam perspektif interaksi simbolik. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara social.
Ø  Pikiran (Thought)
o   Interaksionisme Simbolik menggambarkan Proses berpikir. Proses berpikir ini sendiri bersifatreflektif. Menurut Mead, Sebelum manusia bisa Berpikir, manusia membutuhkan bahasa. Pola berpikir merupaka cara bagaimana manusia berpikir banyak di tentukan oleh praktek bahasa.
Teori Interaksionisme simbolik memiliki karakter yang didasarkan pada suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu.
Interaksi yang dilakukan antara individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vocal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “symbol” . Simbol – simbol ini sebagian besar adalah kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Bunyi dan penulisannya sama tetapi berbeda pada masyarakat yang berbeda dalam mengartikan maknanya. (Ardianto, 2007 : 40)
Interaksionisme simbolik berada dalam paradigm Konstruktivisme (Constructivism). Jadi, Inti dari teori interaksionisme simbolik adalah penafsiran (interpretative). Namun, yang medasari interpretasi dalam interaksionisme simbolik yaitu fenomenologi , etnometodologi, dan konstruksi social.
Definisi. Interaksi simbolik menjadi paradigm konseptual yang interpretit  karena memiliki suatu konsep yang bukan hanya sekedar “melihat” suatu “dorongan” dari dalam, “sifat pribadi” ,” motivasi yang tidak disadari “, “kebetulan”, “status sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, “resep budaya”, “mekanisme pengawasan masyarakat” , atau “diinterpretasikan” sehingga perilaku tersebut menjadi lebih jelas atau terdefinisikan.
Interaksionisme simbolik hanya memahami perilaku yang dapat didefinisikan untuk dapat dimaknai.
Aturan, Nilai, dan Sistem Nilai.  Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa makna mengkonstruk makna simbolik, bukan suatu konse dorongan dan ritual tentang makan. Selain menjelaskan definisi , interaksionisme simbolik , teori ini memiliki aturan dan keteraturan, ilai, dan system nilai dalam masyarakat, ini tidak dapat dibantah.
Diri (self), bagian dari teori interaksionisme simbolik penting lainnya adalah konstrak “diri” (self). Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan lainnya) ditempat ia berada. Dengan Singkat , kita melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstruk sosial,  yaitu hasil persepsi orang tehadap dirnya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi. Cara konseptual diri ini mengarahkan pada penelitian self-fullfing prophecy dan melatari munculnya labeling approach terhadap perilaku seseorang. (Moleong, 2001)

Interaksi simbolik berfokus kepada interaksi antar manusia dan berusaha memahami bagaimana individu menafsirkan bahasa dan perilaku orang lain , bagaimana orang-orang memberikan makna bagi pemikiran dan tindakan mereka sendiri dan mengorganisasikan ketika berinteraksi dan bernegosiasi ketika berinteraksi dan bernegosiasidengan orang lain.
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat “humanis”. Di mana . perspektif ini sangat menonjolkan keagungan dan maha karya nilai individu di atas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini.
Tokoh-tokoh teori ini antara lain George Herbert Mead, C.H Chooley, W.I Thomas, Peter L. Berger, Erving Goffman, Harbert Blummer. Teori ini mengatakan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain tidak secara langsung , melainkan melalui symbol – symbol.
George Herbert Mead menyatakan bahwa perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara berpikir manusia tersebut. Akan tetepi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh kontes atau konstruks sosial , seringkali interpretasi individu sangat berperan didalam proses berpikir. DAlam tataran konsep komunikasi, maka secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah seatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi.
Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita. (Griffin, 2003) . Konsep diri adalah fungsi secara bahasa . Tnpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Sebagai contoh adalah baimana proses komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang, seperti pasangan suami istri.

Teori tentang “diri” dari George Herbert Mead


Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead. Cooley mendefinisikan diri sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal, yaitu “aku” (I), “daku” (me), “milikku” (mine), dan “diriku” (myself). Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi leih kuat daripada yang tidak dikaitkan dengan diri, bahwa diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif.
Jadi, diri dan masyarakat saling mempengaruhi, masing-masing berfungsi sebagai rujukan bagi yang lainnya, sehingga keduanya disebut sebagai kembar (twin born). Masyarakat terdapat dalam pikiran-pikiran orang-orang yang merupakan suatu unit social. Sifat penting masyarakat ditemukan dalam ikatan-ikatan social yang ada antara manusia-manusia melalui gagasan dan perasaan.
Sementara itu, pandangan Mead tentang diri terletak pada konsep “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other). Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara social, namun juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan.
Jadi, sekali lagi, menurut penganut interaksionisme simbolik, perilaku manusia tidak determinisitik, sebagaimana yang dianut kaum positivis; alih-alih, perilaku adalah produk penafsiran individu atas objek di sekitarnya. Makna yang mereka berikan kepada objek berasal dari interaksi social dan dapat berubah selama interaksi tersebut berlangsung. Dalam konteks ini, perspektif interaksi simbolik menekankan peran penting bahasa bagi perilaku manusia. Ia juga menekankan sejenis pandangan atas peristiwa yang setengah terbuka, teramalkan secara parsial. Interaksi dianggap ditentukan oleh aturan, norma, dan arahan.

Pentingnya symbol dan komunikasi


Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Symbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap symbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Jadi, semua objek simbolik menyarankan suatu rencana tindakan (plan of action) dan bahwa alasan untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap suatu objek antara lain diisyaratkan oleh objek tersebut.
Menurut Mead, hanya apabila kita memiliki symbol-simbol yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya. Akan tetapi tidak semua isyarat vocal merupakan symbol signifikan.
Komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan didengar, tetapi juga proses non verbal.
Seperti dikatakan Levine, komunikasi ujaran (speech) adalah konkret dan dilandasi komitmen pribadi dan tanggung jawab, sedangkan komunikasi nonujaran (nonspeech) dapat dirundingkan dan boleh jadi disangkal oleh pengirim. Mead sendiri mengakui, isyarat vocal dan perilaku yang terkait dengannya dalam masyarakat manusia menyediakan landasan bagi interaksi simbolik.
Mead menunjukan bahwa perkembangan diri bergantung pada komunikasi dengan orang lain, terutama sejumlah kecil orang penting yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang-orang itu dipengaruhi kehadiran diri tersebut.
Melalui interaksi dan komunikasi orang-orang dapat bertukar makna, nilai, dan pengalaman dengan menggunakan symbol dan tanda. Mead membedakan symbol signifikan yang merupakan bagian dari dunia makna manusia dengan tanda ilmiah yang merupakan bagian dari dunia fisik. Yang pertama digunakan dengan sengaja sebagai sarana komunikasi, yang kedua digunakan secara spontan dan tidak disengaja dalam merespons stimuli.
Rose berpendapat, dalam komunikasi dengan tanda alamiah, komunikator mengontrol perilaku pihak yang hadir, apakah dengan sengaja atau tidak, karena tubuh pihak kedua secara tetap merespons dengan cara spesifik terhadap impak rangsangan atas alat-alat indranya. Dalam komunikasi dengan symbol signifikan, sebaliknya, komunikator dapat mempengaruhi perilaku pihak yang hadir, namun ia tidak dapat mengendalikannya, karena symbol berkomunikasi dengan isi makna dan nilainya bagi pihak yang hadir.
Dalam pandangan fenomenologis Alfred Schutz yang sejajar dengan pemikiran Mead, dalam interaksi tatap-muka makna rangsangan yang dicari dan ditafsirkan oleh sang actor secara khas merujuk kepada motif actor lainnya. Selama proses interaksi, terdapat pertukaran motif antara para actor yang terlibat. Hal itu merujuk kepada perkiraan mengenai motif orang lain yang identic dengan apa yang Mead sebut “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other), yakni membayangkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan memandang segala sesuatu melalui perspektif orang lain.
Berdasarkan interpretasi tindakan orang lain, individu dapat mengubah tindakan berikutnya agar sesuai dengan tindakan orang lain. Modifikasi perilaku ini menuntut orang untuk memastikan terlebih dahulu makna, motif atau maksud apa yang terdapat di belakang tindakan orang lain.
Manusia berinteraksi dengan cara berbeda. Konkretnya, manusia merespons tidak hanya tindakan orang lain, melainkan juga makna, motif dan maksud tindakan tersebut. Dengan kata lain, manusia harus mendefinisikan apa makna tindakan yang dihadapinya. Baik komunikator ataupun pengamat terlebih dulu harus mempelajari makna atau isyarat untuk berkomunikasi secara simbolik, sementara komunikasi dengan tanda alamiah berlangsung secara naluriah dan spontan.
Ringlasnya, dalam pandangan Mead isyarat yang dikuasai manusia berfungsi bagi manusia itu untuk membuat penyesuaian yang mungkin di antara individu-individu yang terlibat dalam setiap tindakan social denga merujuk kepada objek atau objek-objek yang berkaitan dengan tindakan tersebut.

Pikiran


Bagi Mead, tindakan verbal merupakan mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam interaksi social mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) dan “dir” (self).
Menurut teori interaksi simbolik, pikiran mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain, masyarakat harus lebih dulu ada, sebelum adanya pikiran. Dengan demikian, pikiran adalah bagian integral dari proses social, bukan malah sebaliknya: proses social adalah produk pikiran.
Pikiran adalah mekanisme penunjukan-diri, untuk menunjukan makna kepada diri-sendiri dan kepada orang lain. Pikiran mengisyaratkan kapasitas dan sejauhmana manusia sadar akan diri mereka sendiri, siapa dan apa mereka, objek di sekitar mereka dan makna objek tersebut bagi mereka.
Mead juga melihat pikiran dengan cara yang pragmatic. Pikiran melibatkan proses berpikir yang diarahkan untuk memecahkan masalah. Dunia nyata penuh dengan problem, dan fungsi pikiran adalah berusaha memecahkan problem-problem tersebut. Menurut Schutz, menunjukan makna objek, situasi, dan perilaku kepada diri-sendiri dan kepada orang lain, individu harus menggunakan apa yang Schutz sebut “pengkhasan” (typication).  Pengkhasan ini, yang berasal dari persediaan pengetahuan individu yang terendapkan, digunakan untuk menandai individu manusia, motivasi manusia, tujuan, dan pola tindakan.
Persediaan pengetahuan seorang individu terus-menerus berubah karena ia memperoleh pengalaman baru dan memasuki situasi problematic yang baru pula. Jadi, kembali ke teori Mead lagi, diri tumbuh ketika individu mendapatkan pengalaman baru dan memberi makna kepada pengalaman dan objek tersebut. Ringkasnya, diri itu bersifat dinamis, selalu berubah, karena diri mampu mendefinisikan situasi oleh dirinya sendiri tanpa dikontrol atau ditentukan oleh kekuatan-kekuatan luar.

Perkembangan “diri”

Diri merujuk kepada kapasitas dan pengalaman yang memungkinkan manusia menjadi objek bagi diri mereka sendiri. Menurut Mead, perkembangan diri terdiri dari dua tahap umum yang ia sebut tahap permainan (play stage) dan tahap pertandingan (game stage).
Tahap permainan adalah perkembangan pengambilan peran bersifat elementer yang memungkinkan anak-anak melihat diri mereka sendiri dari perspektif orang lain yang dianggap penting (signifikan others), khususnya orangtua mereka. Tahap ini ditandai dengan keaslian dan spontanitas pada perilaku anak-anak.
Tahap pertandingan berasal dari proses pengambilan peran dan sikap orang lain secara umum, yaitu masyarakat umumnya. Pada tahap inilah, ketika anak memasuki komunitasnya, individu menjadi suatu objek dalam arti yang sesungguhnya. Pada tahap ini orang tersebut berusaha memenuhi berbagai harapan orang-orang lain pada saat yang sama.
Menurut Mead, sebagai suatu proses social, diri terdiri dari dua fase, yaitu “Aku” (I) dan “Daku” (Me). Aku adalah diri yang subjektif, diri yang refleksif yang mendefinisikan situasi dan merupakan kecenderungan impulsive individu untuk bertindak dalam suatu cara yang tidak terorganisasikan, tidak terarah, dan spontan, sementara Daku adalah pengambilan peran dan sikap orang lain, termasuk suatu kelompok tertentu. Karena itu diri sebagai objeklah yang meliputi diri social yang dipandang dan direspons oleh orang lain.
Dengan kata-kata Natanson,
Perbedaan antara “Aku” dan “Daku”, bagi Mead, bersifat metodologis. Dalam pengalaman, dalam situasi kehidupan yang sebenarnya, diri dalam aspek “Aku” dan “Daku”nya adalah suatu kesatuan yang integral yang boleh disebut “kepribadian”. Kedua fase “kepribadian”, dalam konteks ini, adalah stabilitas dan kebaruan (3)
Prinsip bahwa diri merefleksikan masyarakat mebutuhkan suatu pandangan atas diri yang sesuai dengan realitas mengenai masyarakat kontemporer yang rumit. Artinya, bila hubungan social itu rumit, pastilah ada suatu kerumitan yang parallel dalam diri.


Dalam kajian ilmu komunikasi pendekatan interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian kualitatif yang berusaha mengungkapkan realitas prilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.
 


(4)   Qualitative Research Methodology In Communication (Ellys Lestari Pambayun.): hal. 93 s/d 110

Namun, disbanding penelitian naturalistic etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini ppun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi cultural antarpersonal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok.
                                                 Ada tiga premis dasar dari interaksi simbolik menurut Blumer(5) :



a.
Pertama, BAhwa tindakan manusia terhadap sesuatu berdasarkan arti yang dimilikinya tentang sesuatu tersebut. Tindakan manusia tidak akan sama kepada semua objek. Karena setiap objek memiliki arti tertentu, maka reaksi manusia terhadap masing-masing objek akan berbeda.
b.Kedua, arti dari sesuatu muncu dari interaksi sosial. Manusia secara bersama-sama menciptakan arti kepada suatu objek.
c. Ketiga, arti dari sesuatu dimodifikasi lewat proses interpretasi.
Muhadjir (2000:184-185) menambahkan lagi tujuh proposisi intraksionisme simbolik :
Prinsip penelitian interaksionisme simbolik, yaitu :
a.    Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks.
b.   Karena symbol juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subjek penelitian.
(5)   Prof. Dr. Conny R. Semiawan. Metode Penelitian Kualitatif Jenis,Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta. Grasindo. Tahun 2010. Hal 88-89

c.    Peneliti sekaligus mengkaitkan antara symbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya
d.   Perlu direkam situasi yang melukiskan symbol
e.    Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya
f.    Perlu menangkap makna dibalik fenomena
g.   Ketika memasuki lapangan , sekedar mengarahkan pemikiran subjek, akan lebih baik

a.          Mengalih-bahasakan dari partisipan
b.         Perlu mencari latar belakang dari kontesnya
c.          Menekankan kemampuan daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji
d.         Dalam proses pemaknaan , menuntut kemampuan integrative manusia, inderawi, daya pikir, dan akal budi. Tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” menggunakan wawasan “intersubjektif” . Artinya peneliti berusaha merekonstruksi realitaa sosial interaksi antar anggota komunitas. Penelitian bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan yang saling menunjang. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi.
Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11) lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigm konseptual yang melebihi “dorongan diri dalam”, “sifat-sifat pribadi”, “motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan” , “ status sosial ekonomi” , “kewajiban peranan”, atau lingkungan fisiknya.
Implikasi penelitian interaksi simbolik, yaitu :
1.      Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas
2.      Penelitian harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek.
3.      Penelitian harus mengaitkan symbol dan subjek dalam sebuah interaksi.
4.      Setting (latar) dan pengamatan harus dicatat.
5.      Metode harus mencerminkan proses perubahan
6.      Pelaksanaan harus berbentuk interaksi simbolik
7.      Penggunaan konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional , proposisi yang dibangun interaksional dan universal.
Kemajuan zaman semakin pesat , peneliti juga memperhatikan ketika pelaku komunikasi berinteraksi melalui alat-alat canggih.
Seluruh aktivitas komunikasi semacam itulah yang merupakan sasaran peneliti interaksionisme simbolik. Hal yang perlu diingat oleh peneliti komunikasi adalah, jangan meremehkan pelaku komunikasi atau partisipan karena mereka justru partisipan atau actor yang tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama atau film. Karena itu, dari waktu ke waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam.
Catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionisme simbolik, yaitu :
·            Symbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif
·            Perilaku budaya akan mampu merubah symbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim
·            Pemanfaatan symbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku
·            Makna Simbol dalam interaksi dapat bergeser dai tempat dan waktu tertentu
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti interaksionisme simbolik merupakan odel penelitian yang lebih cocok diterapkan untuk mengungkap makna sebagai hasil proses komunikasi sebuah komunitas. Interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang konkret dalam interaksi baru kemudian ditafsirkan, padahal dibalik jiwa manusia terdapat gelombang besar yang kadang-kadang tidak tampak.




Teori labeling ini pada prinsipnya menyatakan dua hal , Pertama, Orang berperilaku normal atau tidak normal , menimpang atau tidak menympang, tergantung pada bagaimana orang lain (orangtua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.

Merupakan suatu imlikasi lain dari interaksi simbolik , di mana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal sebagai perspektif interaksional (Headariningrum : 2009)

Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung.

Dimana konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsikan peristiwa dan membagi penafsira-penafsiran tersebut dengan orang lain , dan realitas dibangun secara sosial melalui komunikasi (Littlejohn dan foss , 2005 : 308)

Dimana salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu lainyaditengah interaksi sosial masyarakat.

Ertinya, Individu dalam upaya belajar memahami diri ia mencoba berteory , sehingga pemikiran dia tentang diri sebagai person (kemampuan memandang dan membawa semua sifat dan bawaan – bawaan pribadi secara umum di dalam kelompok sosial dan budaya)merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan – gagasa tentang personhood (atau public dimana diri diekspresikan pada orang lain melalui proses komunikasi ) (littlejhon dan foss, 2005:311)
Sindrom emosi ini secara sosial dikonstruksi oleh cara-cara orang belajar berinteraksi hasil dari apa yang dia ambil dari kelompok perilaku khusus untuk dia artikan dan dia lakukan dalam menampilkan emosi khusus
Teori Dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik m dan tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Kenneth Burke. Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan symbol komunikasi.
Dari Ervin Goffman , Contoh : Penelitian Judy Peterson dan Shannoon Van Horn (2004) menemukan bahwa teori interaksi simbolik membingkai perasaan orang dewasa yang lebih tua mengenai identitas gender.

Banyak Orang mendefinisikan naratif sebagai suatu gaya bercerita. Naratif juga berasal dari kata narasi yaitu suatu cerita tentang peristiwa atau kejadian dengan adanya paragraph narasi yang disusun dengan merangkaikan peristiwa – peristiwa berurutan atau secara kronologis.

Pendekatan yang dipelopori John Shotter ini menjelaskan bahwa salah satu cara orang –orang mengkonstruksi realitas sosial melalui pembuatan laoran atau penjelasan dan menjustifikasi perilaku mereka
Shotter menyumbangkan pandangan konstruksionis yang lebih luas pada aspek tanggung jawab dan moralitas subjek. Ia percaya bahwa pengalaman manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Pembicaraan kita dapat merefleksikan dan menciptakan realitas pengalaman kita (Littlejohn, 1996:185).


Jallaludin Rakmat (1999:126) menjelaskan bahwa dalam penelitian interaksionisme simbolik peneliti biasanya melakukan tahapan berikut ini :
-                Observasi Partisipan
-                Wawancara Life History
-                Metode Histori (analisis dokumen) yang unggul dalam arti metode-metode tersebut memungkinkan peneliti memadukan antara symbol dan interaksi, mengambil peran yang diamati, memasuki dunia sosial subjek penelitian, merekan berbagai situasi perilaku, mengungkapkan perubahan dan proses, dan membuat konsep-konsep yang lebih terarah.
Lindolf (1995:154-161) menguraikan langkah observasi dalam penelitian Interaksionisme simbolik , yaitu : tentukan siapa aktor yang akan diteliti; Bagaimana suasana yang dibangun (interior, benda-benda atau objek-objek dalam situasi sosial); bagaimana interaksi awal terjadinya; kapan dan dimana para aktor utama secara teratur berkumpul dan berinteraksi, dan ada kejadian penting apa dalam komunikasi diantara aktor tersebut.
Pada langkah Observasi partisipan Blumer (Kuhn, 1964 dan kutz 1984)
 Mengatakan adalah cara agar peneliti dapat memahami makna-makna tindakan bersama dalam suatu kehidupan sosial,(atau ini adalah salah satu cara melakukan permainan peranan). Jadi, Interaksi simbolik secara khusus diasosiasikan dengan kajian interpretif pada kehidupan komunitas atau kelompok secara dekat. Peneliti di sini mencoba menggali “inside” kehidupan kelompok. (Lindof,1995 : 44)



CONTOH KASUS
Penjabaran Contoh Kasus :
Dalam Pembahasan mengengenai Interaksi Simbolik , contok kasus yang kami ambil adalah kasus yang menimpa Gubernur Sumatra Utara yaitu Syamsul Arifin. Kasus yang kami ambil tersebut akan kami kaitkan terhadap  konsep diri dari interasi simbolik. Konsep diri interaksi simbolik adalah konep “Me” dan “I” . “Me” Sebagai penggambaran diri kita yang sebenarnya dan “I” adalah penggambaran diri kita yang tidak sebenarnya yang dapat diubah sesuai dengan kondisi atau posisi si Individu.
Dalam kasus tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat pada saat itu melihat sosok Syamsul Arif sebagai sosok panutan rakyat. Sosok yang dermawan, dengan karakter merakyat  yang ia perlihatkan pada saat kampanye. Pada Point 1, 2, dan 3 yang ada dalam wacana tersebut dapat kita lihat sebagai cerminan Syamsul arifin yang ia perlihatkan terhadap masyarakat. Dalam konteks Interaksi simbolik hal tersebut dapat kita lihat sebagai “I”.

Kemudian dalam point 4 yang di jelaskan daram berita diatas , dapat di gambarkan bahwa karakter yang di tunkukkan Syamsul pada saat kampanye merupakan hal bukan merupakan karakter sebenarnya. Seperti pada headline berita Jpnn Online. Berdasarkan berita tersebut kita menilai bahwa karakter ia yang merakyat hanya sebuah symbol agar masyarakan Sumatra Utara mempercayai dan memilihnya sebagai Gubernur Sumatra Utara, yang pada kenyataannya setelah ia terpilih, ia tersangkut kasus Korupsi . Karakter kepemimpinannya setelah menjabat merupakan Konsep “Me”





BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Ciri khas dari interaksi simbolik : terletak pada penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masingmasing, untuk mencapai kesepakatan bersama
3 ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a.       Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosialyang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.  
b.      Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya. 
c.       Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1.      Pentingnya makna bagi perilaku manusia
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak, terhadap, manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lainkepada mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses interpretif .

2.      Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif,didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep dir imembentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The particular kind of role thinking – imagining how we look to another person ” or ”ability to see our selves in the reflection of another glass”.

3.      Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.










DAFTAR PUSTAKA

- Pambayun, Ellys Lestari . 2013. Qualitative Research Methodology In Communication. Jakarta . Lentera Printing Jakarta
- M.A DR. Deddy Mulyana . 2006 . Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung .PT Remaja Rosdakarya Offset
- Semiawan, Prof. Dr. Conny . 2010 . Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulan. Jakarta . PT Grasindo
http://www.jpnn.com/news/korupsi-apbd-gubernur-sumut-jadi-tahanan-kpk

No comments:

Post a Comment