Friday 20 January 2017

METODE PENELITIAN KUALITATIF, MODEL KOMUNIKASI ETNOMETODOLOGI


BAB I

Dalam kehidupan yang sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih dikenal dengan istilah Interaksi Sosial. Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial) dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja, sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya adalah Etnometodologi.

Pengamatan atas fakta sosial yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial, dewasa ini masih terklasifikasi dalam dua wilayah objek kajian, yakni pengamatan yang dititikberatkan pada persoalan-persoalan makro, dan pengamatan yang tertuju pada persoalan-persoalan mikro. Emile Durkheim misalnya adalah salah satu tokoh sosiologi yang menempatkan pengamatannya pada persoalan makrososiologi (struktur sosial dan pranata sosial). Durkheim berangkat dari pemahaman bahwa fakta sosial berada diluar dan bersifat memaksa individu untuk mengikuti struktur dan peranata sosial yang ada.

Kemudian adalah Max Weber salah satu tokoh termasyhur dalam dunia sosiologi yang meletakkan pengamatan pada wilayah mikrososiologi seperti Tindakan Sosial. Weber berangkat dari pemahaman bahwa individulah yang membangun struktur sosial, sehingga mengamati persoalan sosial tidak bisa langsung tertuju pada struktur sosial (makrososiologi) yang ada namun harus diawali dengan mengamati tindakan sosial individu (mikrososiologi).

Berbeda dengan kedua tokoh ahli sosiologi diatas, Harold Garfinkel sebagai pencetus teori Etnometodologi melihat fakta sosial sebagai sesuatu yang fundamental dalam kehidupan sosial. Sehingga dalam penggunaannya Etnometodologi tidak terpaku pada hal-hal yang sifatnya makro maupun mikro, namun memusatkan pengamatannya pada interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, salah satunya melalui pengamatan Etnometodologi atas percakapan sehari-sehari yang dilakukan manusia.
Etnometodologi meletakkan studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar common sense. Realitas common sense dan eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan praktis dalam kehidupan sosial. kepentingan praktis kemudian dilawankan dengan kepentingan ilmiah (teoritis).
Teori ilmiah membangun pemahaman atas realitas sosial melalui penelitian yang sisitematis dan teoritis. Bagi Alferd Schutzs (tokoh sosial yang mempengaruhi Garfinkel dalam melahirkan teori Etnometodologi) manusia bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau kepentingan praktis. Pada wilayah inilah (kepentingan praktis) etnometodologi hadir sebagai alat pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun pemahaman utuh atas fakta sosial yang tengah tertebar di masyarakat.

 

 








Istilah etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula. 1
Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosail keseharian yang diterima secara taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense). Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir 1960-an dan awal 1970-an ( Poloma : 1994 : 281).
Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi, teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut berlangsung. 2
Garfinkel sendiri medefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari (Furchan, 1992 : 39-41).2


Dalam prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. 2
Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama (responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya.
 Latihan kedua (provokatif) dilakukan dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan ketiga (suberrsif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.
Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. 2
Di antara para pakar ini Jack Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas


mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan ( Furchan, 1992 : 39).2
Di sini seorang koroner mengumpulkan bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh diri pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Pendekatan ini sangat berbeda dengan apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah bahwa etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional sebagaimana yang telah disentil di bagian pengantar di atas. 2
(Boglan & Biklen, 1998:30) Mendefinisikan etnometodologi sebagai studi tentang bagaimana orang-orang menciptakan dan memahami kehidupan sehari–hari mereka dan cara mereka menyelesaikan kehidupa sehari-hari. Subjek bagi etnometodologi bukan warga suku primitive. Mereka adalah orang-orang dari berbagai situasi di dalam masyarakat kita sendiri.3
Mehan and Wood dalam Neuman (1997:346-347) medefinisikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia, dan pandangan kehidupan. Etnometodologi berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi, artinya berbeda banyak dari sosiologi dan juga psikologi. Secara sederhana, etnometodologi memiliki batasan sebagai kajian akal sehat, artinya merupakan hasil dari suatu observasi penciptaan yang digunakan terus menerus dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang sewajarnya.3
Heritage (dalam George Ritzer 1996:235) menyatakan bahwa etnometodologi dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan


pertimbangan yang dapat dimengerti, oleh anggota masyarakat biasa, mereka bisa mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan dirinya sendiri. Secara terminologi, Etnometodologi diterjemahkan sebagai sebuah metode pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek kebutuhan, diantaranya: pencerahan dan emberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk padapermasalahan apa yang akan diteliti. Hal inisebagaimana yang dipaparkan oleh Harold Garfinkel, bahwa istilah etnometodologi dijumpainya ketika ia mempelajari arsip lintas budaya di Yale yang memuat kata-kata seperti etnobotani, etnofisika, etnomusik, dan etnoastronomi. Itu mempunyai arti bagaimana para warga suatu kelompok tertentu (biasanya kelompok suku yng terdapat di arsip Yale) memahami, menggunakan, dan menata segi-segi lingkungan mereka. Dalam hal etnobotani, subjek atau pokok kajian adalah tanaman. Jadi, etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehiduan sehari-hari, metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari.3
Muhadjir (2000:129-130) menyatakan bahwa etnometodologi berupaya untukmemahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri.
Istilah etnometodologi berkaitan dengan konsepsi teoretik fenomena sosial. Etnometodologi mengacu pada kegiatan ilmiah yang menganalisis metode. ataupun prosedur-prosedur yang digunakan manusia untuk menuntun mereka dalam berbagai kegiatan kehidupan kesehariannya. Dengan demikian etnometodologi dapat didefinisikan sebagai ilmu etnometode, prosedur-rosedur yang disebut Garfinkel sebagai “penalaran sosiologi praktis”. (Coulon, 2004:x-xi). 4
 Jelasnya, etnometodologi adalah kajian tentang kegiatan manisia sehari-hari, khususnya aspek-aspek interaksi sosial yang diambil begitu saja. Garfinke secara sederhana membatasi etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal (bahasa dan makna) dan tindakan-tindakan praktis lainna sebagai kesatuan pemecahan masalah yang (sedang) dilakukan dari praktik-praktik kehidupan sehari-hari yang terorganisasi.


Pendekatan ysng termasuk dapat menjelaskan pertanggung jawaban tindakan praktis yang nasional ini ialah:
a)      Perbedaan antara ungkapan yang objektif dan yang indeksikal bersumber dari bahasa dan makna yang dikaitkan pada simbol-simbol signifikan)
b)      Refleksivitas berbagai tindakan praktis, dan
c)      Kemampuan menganalisis tindakan tersebut dalam konteks sehari-hari. (Poloma 2003:281)
Jadi yang menjadi masalah bagi para ahli etnometodologi adalah bagaimana (dengan metode apa) orang menangkap dunia mereka sehari-hari. Atau, dengan cara bagaimanakah orang menerima aturan atau pola-pola realitas mereka ? 4
Penelitian etnometodologi memiliki beberapa tujuan utama yang harus dipahami peneliti, antara lain :
1.     Penelitian atau kajian etnometodologi adalah untuk mempelajari bagaimana anggots masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat sense of indexical expression (pengungkapan istilah-istilah). Arti indexical tidak bermakna universal namun bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka) Sifatnya terbatas pada yang diindeks atau dirujuk. Subjek etnometodologi bukanlah anggota-anggota suku terasing, melainkan orang-orang dalam berbagai macam situasi dalam masyarakat kita (kantor, cafe, organisasi, klub, institusi, komunitas, dan sebagainya).
2.     Pelitian etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, mengerti menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia sehari-hari di tempat mereka hidup. Untuk peneitian ditujukan untuk dapat mengerti, mengubah dan menampilkan kenyataan baru berdasarkan lingkungan harian yang di inginkan dari objek penelitian (orangkelompok yang diteliti). Selain itu, untuk memberi kesadaran kepada orang-orang bahwa mereka hidup di dunia yang telah lama mereka diami, tapi mereka tidak pernah mempertanyakan mengapa mereka harus berada di dunia, karena ketidaksadaran mereka.  
3.     Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan logika formal (formal logic).


4.     Hasil penelitian Ritzer etnometodologi dapat berupa program atau prinsip perubahan dan pembauran. 4

Philip Jones (1985:75) mengungkapkan tiga asumsi dalam kajian etnometodoogi:
1.        Kehidupan sosial sifatnya rentan (apapun bisa terjadi dalam interaksi sosial)
2.             Para aktor tidak pernah menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan praktis
3.             Kemampuan praktis ini penting untuk membuat dunia tampak seperti yang para aktor inginkan. 4

 Dalam penggunaan metode etnometodologi dijumpai beberapa kelebihan  dibandingkan metode lainnya di antaranya5
1.      Longitudinal sebagai suatu metode observasi yang sedang berlangsung. Etnometodologi dapat merekam perubahan-perubahan peristiwa yang terjadi dan tidak harus menyandarkan diri pada ingatan partisipan seperti rekaman daam penelitian survey cross sectional.
2.      Baik perilaku nonverbal maupun verbal, keduanya dipelajari oeh etnometodologi.
3.      Etnometodoogi memberikan suatu pemahaman tentang bagaimana narasumber berada dalam keadaan menyadari sesuatu atau merasa benar-benar dalam keadaan sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana mereka menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi peneliti dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh penelitian survey. 5
4.      Etnometodologi memberikan satu pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehat. 5

Sedangkan kelemahan penelitian etnmetodologi diantaranya:

1.         Produk : Etnometodologi tidak bisa menjadi satu pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari produk-produk sosial. Misalnya, etnometodologi tidak selalu


sesuai untuk meneliti masalah etnis, namun etnometodologi bisa digunakannya untuk memelajari proses terjadinya atau sumber sikap tersebu
2.         Studi dalam skala luas: Sikap masyarakat dalam skala luas lebih cocok diteliti dengan menggunakan metode survey dibanding dengan etnometodologi. Disamping itu, memang sikap adalah produk yang hanya baik jika diteliti dengan menggunakan metode penelitian survei, atau metode lain bukan oeh etnometodologi.5
Menurut Denzin and Lincoln Sebagai metode penelitian, etnometodologi memang memiliki kekuatan yang otonom terutama untuk mengupas berbagai masalah sosial, seperti masaah komunikasi. Etnometodologi merupakan kelompok metode dalam ranah penelitian kualitatif yang memusatkan kajiannya pada realitas yang memiliki pemaknaan pada perilaku nyata.6
Perkembangan penelitian dalam ilmu komunikasi dengan pendekatan etnometodologi ini memiliki ragam yang berbeda, karena subyek matterinya adalah aneka jenistema dan konteks lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu komunikasi.
Berbagai variasi dalam penelitian etnometodologi dijelaskan Maynard dan Clayman (dalam George Ritzer 1996:337), (yang disesuaikan dengan kajian komunikasi) :
a)      Studi etnometodologi yang berlatar belakang Analisis Institusional (Studies of Institutional Setting). Semula studi etnometodologi difokuskan dalam setting institutional yang lebih luas, seperti di pengadilan, rumah sakit dan kantor polisi.

b)      Tujuan dari studi semacam ini adalah untuk memahami cara masyarakat dalam setting tersebut dalam melakukan tugas-tugas resminya selama proses pembentukan institusi. Penelitian komunikasi dalam melihat setting kelembagaan semacam ini menitik beratkan pada struktur, aturan-aturan formal, dan prosedur resmi untuk kemudian diterangkan secara jelas apa yang masyarakat komunikasikan dalam lingkungan mereka.


c)      Studi etnometodologi yang menaruh perhatian pada Analisis Percakapan (Conversation Analysis). Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling sempurna dari etnometodologi. Praktik ini dibangun oleh Harvey Sack, di pertengahan taun 60-an dengan menjadikan percakapan adalah suatu penelitian tentang struktur dan ciri khas formal bahasa yang dilihat dalampenggunaannya dari sisi sosial.6

Zimmerman (1988) menyatakan bahwa tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan dimana terangkum dalam lima premis, yaitu:
a)      Analisis percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non verbal, dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perilaku atau percakapan aktor yang terlibat.
b)      Detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodologi, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri.
c)      Interaksi pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
d)     Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sekuensial.
e)      Keterkaitan bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir. (George Ritzer 19992:397).

6Penelitian Etnometodologi  ini terdiri dari beberapa startegi yang dapat di terapkan peneliti, yaitu responsive, provokatif, Subersif.
a)      Pada strategi responsive yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah di alaminya. Peneliti meminta seorang kiai menuliskan apa yang pernah ia dengar dari para santrinya lalu membuat tanggapannnya.
b)      Pada strategi provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang terhadap situasi atau bahasa. Peneliti meminta seorang pemimpin bercakap-cakap dengan karyawannya dan memerhatikan setiap reaksinya yang diberikan oleh karyawannya tersebut (conversation analysis).
c)      Strategi subversif, menenkankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari – harinya. Pada latihan subversif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti meminta seorang dosen untuk mengajar dikelas layaknya dirumah sendiri. 6

6Data dari peneliti etnometodologi bukan hanya “orang” atau “people” sebagai kediriannya yang tunggal namun sebagai anggota atau bagian dari sebuah struktur iuran yang lebih luas entah itu masyarakat atau bentuk yang lain. Sehingga wawancara bukan hanya untuk mengetahui jawaban – jawaban terhadap pertanyaan namun aturan struktur yang membuat individu (orang) tersebut memproduksi tindakan-tindakan atau jawaban tersebut.
Wawancara sebenernya cukup krusial sebagai cara memperoleh informasi. Asumsi dari metode wawancara adalah narasumber akan jujur menjawab pertanyaan dan menceritakan motif dibalik setiap tindakannya. Namun, Erving Goffman lewat konsep dramaturginya telah mengingatkan kita bahwa individu seperti layaknya Para actor di panggung sandiwara. Apa yang sesungguhnya terjadi pada individu tersebut. Etnometodologi mencoba mengisi dilema tersebut dengan menitikberatkan bahwa poin penting dari wawancara bukan hanya dari jawaban terhadap pertanyaan namun “nuansa” ketika proses wawancara itu berlangsung.
Secara umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara Etnometodologi :
a)      Wawancara Informal, yakni proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipasif. Dalam situasi demikian, orang-orang yang diajak berbicara


mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang diwawancarai secara sistematis untuk menggali data.
b)      Wawancara dengan pedoman umum, yakni dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara (interview guide) yang sangat umum, yang mencatumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek –aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek –aspek relevan tersebut telah di bahas atau di tanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaiman pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkret dalam kalimat atanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfoku, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau aspek-aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tapi, wawancara juga dapat berbentuk wawancara mendalam (indepth interview) dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam.
c)      Wawancara dengan pedoman  berstandar yang terbuka yakni pedoman wawancara di tulis secara rinci dan lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapakan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakan dengan cara yang sama pada narasumber yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti. Bentuk ini akan efektif dilakukan bila peneliti melibatkan banyak pewawancara, sehingga peneliti perlu mengadministrasikan upaya-upaya tertentu untuk meminimalkan variasi sekaligus mengambil langkah – langkah menyeragmkan pendekatan terhadap narasumber. (patton,1990).
Etnometodologi memiliki beberapa prinsip yang dapat diterapkan para peneliti :
a)      Terjadinya prinsip reciprocal (saling berbalas) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan actor social yang terlibat, sehingga dapat dikatakan “bahwa kebeneran yang dianut seseorang adalah kebenaran yang dianut juga oleh orang lain.”
b)      Harus ada objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya dunia atau lingkungan atau kenyataan merupakan suatu yang benar-benar terjadi; dan bila terjadi keraguan terhadap kenyataan tersebut, maka objektivitas layak di ragukan
c)      Adanya proses yang sama dalam arti jika sesuatu peristiwa terjadi di suatu tempat dan waktu, maka peristiwa tersebut akan dapat terjadi juga ditempat dan waktu lain
d)     Adanya proses indexicality, yaitu ‘daftar istilah’ masyarakat memiliki perbendaharaan bahasa, pemakanaan dan pengetahuan local yang telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu kepada indeks lain yang juga telah ada. Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan lebih luas.
e)      Adanya proses reflectifity, (McQuarie,1995) sebagai ‘gambaran tentang arti’ atau suatu interprestasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu didefinisikan. Untuk mengatakn seseorang itu ‘bersalah’ atau ‘lugu’, maka harus di turunkan dari pengertian umum ke pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud. Namun sesungguhnya peneliti tidak pernah melihat kebenaran itu, kecuali hanya melihat tentang kebenaran tersebut atau berkenaan dengan kebenaran tersebut.
Untuk mendapatkan kebenaran, peneliti seharusnya tidak diperjkenalakan sampai ‘memaksa’ masyarakat. Adanya jeda yang harus di perhitungkan, misalnya ketika actor social merasa ‘lelah’ atau menunjukan ekspresi emosi. Oleh sebab narasumber untuk mendapatkan pembuktian yang jelas. Ungkapan permintaan maaf peneliti adalah suatu keputusan yang bijak. Peniliti harus mengerti semua itu apa adanya, dan tidak memaksa untuk mendapatkan informasi yang jelas yang justru dapat menimbulkan akibat tidak validnya data.

Praktik Etnometodologi dengan masyarakat sebagai bidang kajian memiliki implikasi yang bersumber dsn keterbatasan sifat manusia itu sendiri, seperti :
a)      Perihal eksternal masyarakat, jika tidak ada pertanyaan mengeni realitas yang di bentuk bersama, maka sebenarnya masyarakat dibentuk bersama melaui emosi
b)      Keterbatasan pengetahuan tentang manusia akan meninmbulkan tindakan atau pemikiran yang dapat mengurangi kesulitan yang berkaitan dengan indexicality (daftar istilah) atau reflectivity (gambaran tentang arti). Akibatnya kenyataan selalu diasumsikan dalam keadaan normal
c)      Masalah kelemahan atau keterbatasan pengetahuan manusia dapat diatasi dengan tindakan pemilihan yang rasional, pertukaran, interaksi simbolik dan sebagainya. Oleh karena itu etnometodologi merupakan kritik yang cukup tajam dalam ilmu pengetahuan. Disini, tindakn di lakukan merupakan pemikiran yang didasarkan pada pengetahuan ‘terbatas’ itu . (salim,2006).

Alain coulon (2008:31) mengemukakakan beberapa konsep kunci dari pendekatan etnometodologi, sabagai berikut :
a.       Indeksikalitas, menurut pendekatan etnometodologi merupakan istilah teknis yang sering di gunakan dalam ilmu bahasa, khususunya bahasa awam ( bahasa pasar) yang biasa digunakan dalm suatu analisis objek –objek sosiologi. Jadi yang dianalisis bahasa “alamiah”, dan bukan bahasa “ilmiah”. Fuady (2011:314) mengatakan bahwa bahasa alamiah adalah bahasa pasar atau bahasa umum yang biasa digunakan banyak orang di tempat  tempat umum, bahasa melalui telepon atau memlalui sms, bahasa yang memberi isyarat perintah, bahasa proses belajar mengajar dan bahasa wawancara. Beberapa contoh penggunaan bahasa alamiah yang sering digunakan sehari-hari anatara lain:  
a)      Bahasa umum, contoh : “Insya allah hari ini encananya mereka akan meliputi berita itu.”
b)      Bahasa melalui telepon. Contoh, “alhamdulilah, jadi dummy iklan itu sudah siap? Tolong anda segera kirimkan pada saya, ya. Saya tunggu!’
c)      Bahasa sms contoh, “Assalamualaikum, jadikah kita bertemu besok di kantor?”
d)     Bahasa yang memberi isyarat perintah, “Demi keaikan dunia akhirat kita,saya minta semua yang hadir disini bisa meliput berita dengan tulus da dilandasi asas kebenaran bukan kebohongan”.
e)      Bahasa proses belajar mengajar. Contoh “untuk menjadi seorang public realtions officer itu, selain di tuntut keahlian secara praktis da kemampuan teoretis juga memiliki kecerdasan emosional dan spiritual”.
f)       Bahasa wawancara contoh,”apakah anda siap menjadi wartawan yang sepenuhnya memihak kepentingan masyarakat?”
Bahasa alamiah ini,konsepnya tidak lengkap, sehingga tidak tergambar secara utuh dari apa yang hendak diungkapkan oleh si penutur kata atau si penulis bahasa. Karena itu, dalam konsep bahasa muncul konsep indeksibilitas, yang dengan sebuah kata atau fraksa kata akan tersimpul makna tertentu di mana harus diramu sendiri oleh si pembaca atau si  pendengar. Kata-kata “ dan sabagainya” atau “dan lain-lain”, pembaca atau pendengar harus mearmu sendiri kemana kata ini bermakna secara kontekstual. Karenanya pendekatan dengan cara ini hasilnya akan subjektif dan sulit dikatakan objektif. Kata-kata yang bersifat indeksibilitas lainnya, misalnya  mereka, anda berbaga, kalian,ini, itu, kita dan tersebut.
a)      Bila dia analis contoh –contoh kalimat yang belum lengkap di atas maka kita akan coba untuk lebih memperjelas maksudnya, sebgai berikut  : Bahasa umum. Contoh, “Insya Allah hari ini rencananya mereka akan meliput berita itu”.Pertanyaaan yang kan lahir, mereka itu siapa aja?, berita apa? Hari ini itu kapan tepatnya?
b)      Bahasa melalui telepon, contoh, “Alhamdulillah, jadi dummy iklan itu sudah siap? Tolong anda segera kirimkan pada saya, ya. Saya tunggu” pertanyaan yang muncul: anda itu siapa ? tunggu dimana ?
c)      Bahasa sms. Contoh, “Assalamualaikum Bu, jadikah kita turun kelapangan besok ? pertanyaan yang muncul: kita itu siapa ?
d)     bahasa yang memberi isyarat perintah, contoh, “Demi kebaikan dunia akhirat kita, saya minta semua yang hadir disini bisa meliput berita dengan tulus dan dilandasi kebenaran bukan kebohongan”. Pertanyaan yang muncul: semua yang hadir itu siapa? Saya itu siapa ? berita apa ?
e)      Bahasa proses belajar mengajar, contoh,”untuk menjadi seorang public relations officer itu, selain dituntut keahlian secara praktis dan kemampuan teoritis juga memiliki kecerdasan emosional dan spiritual”. Pertanyaan yang muncul: itu apa ?, keahlian praktis apa saja ? kemampuan teoritis apa saja ?
f)       Bahasa wawancara , contoh, “apakah anda siap menjadi wartawan yang sepenuhnya memihak kepentingan masyarakat kita ?”. pertanyaan yang muncul : anda itu siapa ? wartawan apa ? kita siapa ?
semua kalimat tersebut diatas masih memerlukan uraian lebih lanjut, tanpa kalimat itu dirimu dengan baik, seseorang tidak akan menemukan kejelasan secara tepat maksud kalimat tersebut. Penganut paham etnometodologi, bahkan berkesimpulan bahwa hakikat Indeksitas tersebut juga berada pada bahasa tubuh, dalam bentuk symbol-simbol, dan gerakan-gerakan dalam berbagai aktivitas manusia, yang sesungguhnya tidak dapat di reduksi menjadi pemaknaan yang objektif. Misalnya, seorang pimpinan dalam berkomunikasi dengan anak buahnya atau dengan mitra kerjanya yang tidak responsi, kurang terbuka, atau hanya mengangguk-anggukan kepala dan senyum-senyumserta enggan mengeluarkan pernyataan setuju atau tidak, maka orang yang berkepentingan harus dapat menggunakan bahasa tubuh. Tanpa memahami bahasa tubuh maka orang tersebut akan mengalami kesulitan memahami sesuatu. Contoh lain, ketika seseorang  menelepon orang lain atau men-sms lewat handphone, tapi orang yang di telepon itu tidak mengangkat handphonenya atau tidak memberikan jawaban melalui sms, padahal apa yang disampaikan itu ada tertera dan tercantum dalam memori handphone, maka itu berarti apa yang di harapkan oleh seseorang itu tidak di respon atau tidak disetujui oleh yang bersangkutan. Orang yang memahamiteori etnometodologi ini, pasti dapat mengambil kesimpulan dan sikap bahwa yang bersangkutan tidak setuju apa yang di harapkannya, teori etnometodologi ini sangat berguna dalam proses komunikasi, terutama dalam hubungannya dengan upaya seseorang untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu dari orang lain.
b.      Istilah refleksivitas, dimaksudkan sebagai suatu reaksi dari anggota masyarakat, terhadap suatu aturan disebuah komunitas tertentu (instansi). Misalnya, dalam pemberlakuan etika profesi, khususnya di dunia jurnalistik, dunia periklanan yaitu tata krama periklanan, dan etika di masyarakat yang bisa berimplikasi pada profesi atau perusahaan seperti etika internet sebagai teknologi informasi public (KIP). Ketika etika profesi tersebut mengatur sanksi dan hukum bagi para awaknya yang melanggar salah satu pasal dalam kode etik jurnalistik. Begitu pula bagi yang bergelut dalam bidang periklanan akan mendapat sangsi dan hukuman bila iklan-iklannya menyinggung pihak lain, mengandung pornografis, memasang iklan dengan model yang sudah meniggal atau dipenjara, dan sebagainya. Ia akan terkena pasal-pasal dalam tata krama periklanan dengan sanksi denda atau hukuman sesuai dengan perbuatannya. Sedangkan yang bergerak di dunia internet pelanggaran terjadi bila dengan sengaja menyebarkan berita bohong, memuat pornografi, memfitnah atau menghasut pihak tertentu, dan sebagainya.
Sebagai tindakan refleksivitas, semua aturan profesi ini menjadikan para awak media, periklanan, dan internet semakin ketat dan hati-hati dalam memasang berita,iklan, dan pemuatan fitur atau teks internet. Karena itu, tampak di beberapa Koran ibu kota yang telah mapan dan stasiun tv terkenal di Indonesia pemuatan berita-berita dan iklan-iklan mereka di upayakan untuk mengikuti kaidah-kaidah yang terdapat dalam kode etik bidang mereka masing-masing. Misalnya, disunia berita seseorang jurnalis selalu berusaha melakukan check and recheck atau cover both side sebelum memuat berita kepada narasumber, menuangkannya dalam penggunanan bahasa yang sesuai kaidah bahasa Indonesia yang benar dan jelas, objektif dan tidak memihak , mengedepankan prinsip-prinsip integritas social bukan memecah belah dan sebagainya.
Jadi menurut kaum etnometodologi, refleksivitas itu merupakan salah satu inti dan kondisi utama yang harus diamati, karena hal itu sudah merupakan sifat khas dari suatu kegiatan social. Didalamsistem media dan periklanan atau internet yang masih permisif atau memberlakuan sikap yang longgar terhadap para awak media atau bawahannya, tentu saja akan membuahkan pelanggaran dan penyimpangan tindakan pada etika profesi yang seharusnya disepakati bersama secara konsekwen dan bertanggung jawab. Akibat lainnya, secara perlahannamun pasti akan terbentuk sikap pelaziman ( conditioning) terhadap  pelanggaran pada aturan-aturan yang berlaku. Karena itu, tujuan dari kode etik – kode etik yang di buat dalam menciptakan insan media yang idealis dan bermoral tidak dapat tercapai dengan baik. bahkan, insan media yang menganggap kode etik hanya menjadi batu sandungan dalam berekspresi dan kebebasan bekarya. Akhirnya telah banyak wartawan, pekerja iklan dan pekerja internet harus menjelani proses hokum bahkandi pecat dari profesinya.
Karena hanya sebgian kecil media yang benar-benar menjalankan profesi dan kerjanya sesuai dengan kode etik, sehingga menimbulkan gejolak sosial dikalangan baik dari kalnagan insan media lainnya maupun masyarakat  sebagai pengkonsumsi media yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mereka anggap tidak professional dan tidak bertanggung jawab. Seringkali segelintir orang yang bertindak  tidak paruh terhadap aturan,pihak lain terkena imbasnya, indah efek domino. Gejolak ssosial ini terjadi karena muncul dari reflektivitas, akibat adanya ketidaksetujuan atau tidak ketidakberpihakan kepada para pelanggar kode etik profesi.
c.       Akuntabilitas, sebagaimana diketahui bahwa penelitian yang bersifat etnometodologi  berusaha menyelidiki dan menganaisis aktivitas sehari-hari dari anggota, kegiatan mana dapat di nalar (rasional) oleh masyarakat dan dapat dijelaskan dengan penuh tanggung jawab (accountabilitas). Prinsip akuntabilitas itu sendiri memiliki unsur reflektif dan rasional.
Selanjutnya suatu akuntabilitas mengandung makna, memiliki unsur pemberi informasi dan pembuat struktur, sehingga dengan sosial dianggap diakuntable, karena dalam bentuk-bentuk  kegiatan praktek dari seorang actor. K arena itu menurut kaum etnometodologi. Dunia ini terbentuk tidak seklai jadi, melainkan melalui suat u proses yang terus menerus yang direalisasikan melalui praktek-praktek yang dilakukan, misalnya dalam PNPM- Mandiri ( Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) disetiap wilayah yang diwakilinya memiliki manajemen yang disebut KMW (Kordinator Manajemen Wilayah) dimana dari setiap laporan finansialnya dituntut dapat transparan, baik kepada staf maupun masyarakat. Maklum anggaran atau pembiayaan seluruh program pemeberdayaan ini diperoleh dari bank dunia yang sepenuhnya wajib di pergunakan bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk laporan keuangan ini, seluruhb anggota manajemen mulai dari team leader, tenaga ahli, coordinator kota/desa, asisten dan fasilitator bekerja maksimal untuk laporan yang benar, akurat dan dapat dipercaya agar manajemen meraih kepercayaan (accountability) dari pemberi proyek (PT.Karya milik PUI dan masyarakat yang di berdayakan untuk benar-benar meraih akuntabilitas ini, manajemen wilayah mempercayakan analisis dan pemeriksaan keuangan kepada para akuntan public, artinya akuntan yang berasal dari luar perusahaan yang berasal dari suatu  biro  konsultasi keuangan terpercaya upaya ini di tunjukan agar tercapai akuntabilitas yang di harapkan semua pihak.
d.      kemudian dengan konsep “member” yang dimaksukan oleh kaum etnometodologi berbeda dengan konsep “member” dari paham fungsionalisme Talcott person. Manurut Talcott person member berarti keanggotaan sesorang dalam suatu masyarakat kolektif yang terorganisasi. Jadi bersifat collectivity membership. Adapun menurut kaum etnometodologi, konsep member yang bersifat lebih bersifat linguistic, yakni berasal dari penggunaan bahasa alamiah, sehingga masing-masing member terlibat dalam percanangan  sebuah hasil yang di barengi dengan pengetahuan bersama melalui suatu interaksi sosial. Sehingga bagi kaum etnometodologi member berarti bukan anggota kolektif, tetapi merupakan “orang” atau “individu” yang sama-sama  berkumpul (tanpa kehilangan  indenpendensinya) untuk berada dalam suatu dunia dan menata dunia tersebut. Sebagai contoh, di etiap perusahaan swasta ini diberlakukan program  CSR (Corporate social responsibility), Tidak terkecuali di PT.Berau Coal yang mengembangkan carrying society sebagai wujud salah satu investasi social dilingkungannya. Komitmen perusahaan berskalainternasional ini tidak saja terbatas di pandu oleh pihak manajemen, tapi juga terbangun dilingkungan karyawan perusahaan yang didasari motto to be usefull to mainkind ir. Enhaching their quality of life. Untuk mengimplementasikan motto tersebut pada 20 April 2000 perusahaan membangun Yayasan Dharma Bhakti Berau Coal (YCBBC) untuk mengelola keuangan community development. Yayasan ini memiliki empat pilar kegiatan pemberdayaan, yaitu : pendidikan  dan pengetahuan, kesehatan dan Nutrisi, pelestarian lingkungan dan budaya, peningkatan kualitas ekonomi masyarakat. Kepedulian sosial perusahaan tidak sebatas pada pemahaman investasi sosial pada tubuh manajemen semata, namun benar-benar mereflesikan


kepedulian perusahaan untuk maju bersama masyarakat setempat dalam membangun daerah semua pimpinan dan karyawan di perusahaan PT. Berau Coal sudah tentu adalah member dari perusahaan tersebut (collectivity membership), sedangkan masyarakat, mulai dari RW dan RT setempat sampai masyarakat biasa dapat dikatakan member alamiah yang menjadi pusat analisis dalam pendekatan etnometodologi.6
e.         Terakhir istilah “kategorisasi anggota”, artinya pengkategorian dalam masyarakat terhadap keanggotaanya yang enjadi objek analisis kaum etnometodologi ini. Pengkategorian ini masing-masing disesuaikan dengan fungsinya. Misalnya kategori atasan – bawahan, dimana kategori ini berkembang dari konsep yang bersifat linguistic (alamiah), akhirnya menjadi konsep tentang suatu knyataan sosial. Dalam konteks ini, masing –masing kategori ini mempunyai norma dan aturan mainnya sendiri, dalam kategori “atasan – bawahan”, ada peraturan kepegawaian yang mengatur tentang hal itu. Contoh dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-Mandiri) ditingkat masyarakat dibentuk kelompok yang dianggap sesuai kordinator relawan yang disebut BKM (Badan Kordinasi Masyarakat) yang memiliki kelompok lain yang membantunya yaitu KSM (Kordinator SwadayaMasyarakat) diman Aksm ini memiliki tiga bidang kegiatan yaitu  UPK (Usaha Pembinaan Keuangan), UPS (Usaha Pembinaan Sosial) dan UPT (Usaha Pembinaan Teknik). Semua kelompok masyarakat ini adalah relawan yang secara ikhlas bersedia bekerja tanpa di bayar bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Sebagai relawan tentu saja mereka memiliki banyak masalah dan keluhan dilapangan. Ketika relawan ingin menyampaikan keluhan dan kesulitan yang mereka hadapi tentang realistis masyarakat melalui surat kepada KMP (Konsultan Manajemen Pusat), tentu saja dicegah oleh para fasilitator PNPM-Mandiri sebagai pendamping mereka dilapangan . fasilitator menyarankan agar para relawan menyampaikan masalahnya pada mereka untuk dibahas dengan senior fasilitator dan tidak langsung ditujukan ke pihak pusat. Relawan sosial ini termasuk dalam kategorisasi anggota. 6


BAB III

CONTOH STUDI

Inti etnometodologi tidak terletak pada pernyataan teoritis saja, tetapi terletak
pada studi empiris. Apa yang diketahui secara teoritis berasal dari hasil studi. Berikut contoh-contoh studi empiris etnometodologis:
a.    Prestasi menurut jenis kelamin (Contoh Umum)
Pandangan etnometodologi mengenai jenis kelamin dapat ditelusuri ke salah satu demonstrasi Garfinkel (1967) yang kini telah menjadi klasik tentang kemanfaatan orientasi etnometodologi. Pada tahun 1950 Garfinkel bertemu dengan seseorang yang bernama Agnes, jika dilihat dari rupa, bentuk tubuh, corak kulit dan make up yang digunakannya, jelaslah terlihat bahwa dia terlihat seorang wanita. Kenyataannya sejak lahir dia ditakdirkan sebagai seorang laki-laki.
Pada saat berusia 16 tahun dia merasa serba salah karena dengan fisik seorang laki-laki tetapi jiwanya wanita, keadaan tersebut merasa dirinya serba salah, hingga pada saat itu agnes lari dari rumah dan mulai berpakaian seperti seorang gadis. Dia segera mengetahui bahwa dengan berpakaian wanita saja beum cukup, dia belajar bertindak seperti wanita karena dia ingin diterima sebagai wanita.
Garfinkel tertarik pada penerimaan kebiasaan yan memungkinkan agnes berfungsi sebagai seorang wanita dalam masyarakat. Pendapat yang lebih umum disini adalah bahwa kita tak lahir semata-mata laki-laki atau wanita, kita semua juga belajar dan membiasakan diri dengan kebiasaan sehari yang memungkinkan kita diterima sebagai laki-laki atau wanita. Menurut pengertian sosiologi, hanya dengan mempelajari dan menggunkan kebiasaan inilah kita dapat menjadi seorang laki-laki atau wanita. Jadi, penggolangan seperti ini yang selama ini dipikirkan sebagai status yang diwarisi dapat dipahami sebagai kecakapan menyusun kebiasaan yang ditetapkan.



b.      Interview kerja (Contoh Studi Setting Institusi)
Beberapa pakar etnometodologi mengalihkan perhatian mereka ke dunia pekerjaan. misalnya, Button (1987) meneliti wawancara pekerjaan. Tidak mengherankan, ia melihat wawancara sebagai percakapan yang berurutan dan “sebagai kepandaian praktis yang diletakkan kedua belah pihak pada suasana itu”(B utton,1987:160). Persoalan yang dibahas dalam studi ini meliputi hal-hal yang dapat dilakukan pewawancara, setelah jawaban diberikan, beralih kepertanyaan lain, dan dengan cara demikian mencegah orang yang diwawancarai kembali dan mengoreksi jawabannya semula. pertama, pewawancara dapat menyatakan bahwa wawancara secara keseluruhan sudah selesai. kedua, pewawancara dapat mengajukan pertanyaan lain yang mengalihkan pembicaraan ke arah yang berlainan. ketiga, pwawancara dapat menilai jawaban yang diberikan sedemikian rupa sehingga orang yang diwawancarai menghindar dari keinginan untuk ditanyai kembali.

c.       Contoh analisis percakapan
Percakapan telepon : pengenalan dan pengakuan Emanuel A. Schegloff (1997) memandang pengujiannya tentang cara membuka percakapan telepon sebagai bagian upaya lebih besar untuk memahami ciri keteraturan interaksi sosial: Penelitian yang kami lakukan memusatkan perhatian pada organisasi interaksi sosial. Kami menggunakan audio dan videotape untuk merekam interaksi yang terjadi secara alamiah dan mencatat hasil rekaman untuk menemukan dan mendeskripsikan fenomena yang teratur dari percakapan dan interaksi yang berlangsung. Kami juga berupaya melukiskan organisasi sistematis dari percakapan dan interaksi itu dengan merujuk pada fenomena yang dihasilkannya (Schegloff, 1979: 24, huruf miring oleh pengarang).
Dalam konteks ini Schegloff memperhatikan pembukaan percakapaan telepon yang didefinisikan “tempat di mana jenis percakapan yang dibuka dapat diajukan, ditunjukan, diterima, ditolak, diubah-singkatannya, percakapan baru dapat dimulai bila gagang telepon diangkat oleh kesua belah pihak” (1979:25). Meski percakapan dengan telepon tak berbeda dari percakapan dengan tatap muka, namun pihak-pihak yang berbicara melalui telepon tak mengalami kontak visual.bSchegloff mengemukakan bahwa pembukaan percakapan sering sangat terus terang dan terkesan baku.


KESIMPULAN


  1. “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari pada suatu kelompok.
  2. Penelitian etnometodologi dilakukan bertujuan untuk peneliti dapat mengerti,mengubah dan menampilkan kenyataan baru berdasarkan lingkungan harian yang diinginkan dari objek penelitian (orang/kelompok yang diteliti).
  3.  Strategi Penelitin metode etnometodologi ada 3 yaitu
a.       Strategi Responsive hal yang diungkap adalah Bagaimana sesorang menanggapi yang pernah dialaminya.
b.      Strategi Proaktif Hal Yang diungkap adalah reaksi orang erhadap situasi atau bahasa
c.       Strategi Subversif Menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya
  1. Tahapan pengumpulan data metode etnometodologi adalah
a.       Wawancara Informal didasarkan sepenuhnya didasarkan pada  berkembangnya pertanyaan spontan dalam interaksi alamiah.
b.      Wawancara dengan pedoman umum peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara atau aspek-aspek yang akan dibahas
c.       Wawancara dengan pedoman standar terbuka yaitu pedoman wawancara ditulis secara  rinci dan lengkap dengant set pertanyaan










Ellys Lestari Pembayun, Qualitative Research Methodelogy in Communication, (Jakarta: Lentera Ilmu Cendikia,2013).
Elvinaro Ardianto, Metodelogi Penelitian untuk Public Relation, (Jakarta: Simbiosa Rekatama Media, 2011).
Parsudi Suparlan, Paradigma Naturalistik Dalam Penelitian Pendidikan (Jakarta: Universitas Indonesia, 2000), 53.