Friday 20 January 2017

Metode Penelitian Kualitatif dengan Analisis study kasus Fenomenologi

sumber gambar : google images

 Pendahuluan
Melakukan penelitian ilmu-ilmu sosial dengan metode kualitatif merupakan pengalaman yang unik dan menarik.Unik karena peneliti harus terjun langsung ke masyarakat yang ditelitinya dan menarik karena harus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dengan segala suka dukanya. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, perspektif kedalam, etnometodologi, the Chicago School, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis dan deskriptif.
Penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan.Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Peneliti dalam penelitian kualitatif mencoba mengerti makna suatu kejadian atas peristiwa dengan mencoba berinteraksi dengan orang-orang dalam situasi atau fenomena tersebut. [1]Peserta diminta untuk menjawab pertanyaan umum, dan interviewer atau moderator group periset menjelajah dengan tanggapan mereka untuk mengidentifikasi dan menentukan persepsi, pendapat dan perasaan tentang gagasan atau topik yang dibahas dan untuk menentukan derajat kesepakatan yang ada dalam grup.Kualitas hasil temuan dari penelitian kualitatif secara langsung tergantung pada kemampuan, pengalaman dan kepekaan dari interviewer atau moderator group.
Hakikat penelitian kualitatif adalah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya, mendekati atau berinteraksi dengan orang-orang yang berhubungan dengan focus penelitian dengan tujuan mencoba memahami, menggali pandangan dan pengalaman mereka untuk mendapatkan informasi atau data yang diperlukan.
Dalam penelitian kualitatif, terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menganalisis suatu masalah, salah satunya adalah metode Fenomenologi. Berikut ini adalah beberapa definisi dari metode Fnomenologi menurut para ahli:

·         Teori Fenomenologi menurut Edmund Husserl

Fenomenologi seperti yang kita pelajari kini sebenarnya merupakan pengembangan visi Edmund Husserl ketika meluncurkan buku Logical Investigations (1901).Itupun tanpa mengabaikan para pemrakarsa intensionalitas (kesadaran selalu disengaja atau diarahkan).Dalam buku inilah Husserl merumuskan fenomenologi klasik yang pada waktu itu dianggap sebagai psikologi deskriptif (kadang disebut sebagai fenomenologi realis).[2]

Dalam fenomena klasik, Husserl mencantumkan limaterm utama dari visinya, yaitu:
1.         Intentionality, yakni bahwa apa yang disebut sebagai “kesadaran” selalu merentang antara sebuah subjek terhadap objek sehingga setiap kesadaran selalu merujuk pada intense tertentu.
2.         Intuition, menjelaskan bahwa objek yang disengaja itu secara langsung hadir dalam atau dengan permainan subjek berdasarkan intensionalitas tertentu.
3.         Evidance, yaitu bahwa presentasi dari objek yang dituju itu telah tampil sehingga diterima, dimengerti, disadari, sebagai kebenaran; objek itu telah menjadi nyata.
4.         Noesis&Noema, dua konsep kenamaan dari Husserl, dimana noesis merupakan tindakan seseorang ketika dia memberikan rasa atau karakter tertentu. Sedangkan noema bersifat noematic.
5.         Empathy&Intersubjectivity,empathy merujuk pada hal memasuki diri orang lain lalu mengalamu sesuatu, dan Intersubjectivity artinya terlibat dengan orang lain.
6.         Lifeworld, menerangkan tentang “dunia” yang didiami orang lain sama seperti yang kita diami.

Fenomenologi menurut Husserl berdasarkan pada premis bahwa realitas dunia yang terdiri dari atas benda-benda atau peristiwa merupaka fenomena yang dapat dirasakan atau dipahami melalui dan dalam kesadaran manusia.Artinya, fenomenologi merupakan studi tentang bagaimana kita memahami pengalaman orang lain, dan mempelajari struktur pengalaman yang sadar dari orang lain, baik individu maupun kelompok masyarakat.Pengalaman tersebut bersumber dari titik pandang subjektif atau pengalaman orang pertama yang mengalami pengalaman secara intensionalitas.Dengan fenomenologi, kita dapat mengarahkan analisis kita pada kondisi yang memungkinkan intensionalitas, kondisi yang melibatkan keterampilan dan kebiasaan motorik hingga ke praktik-praktik kehidupan manusia berdasarkan latar belakang sosial sampai kepada penggunaan bahasa sekalipun (Moran, 2000).
Oleh karena itu, meurut Husserl, fenomenologi membimbing kita agar dapat memberikan dan memahami makna terhadap pengalaman orang lain yang bersifat intersubjektivitas. Dalam bahasa Van Manen (1990), dari fenomenologi pula kita dapat menggambarkan bagaimana seseorang berorientasi kepada pengalaman hidup, dan selalu mempertanyakan cara bagaimana dia mengalami dunia, memuaskan rasa ingin tahu dia tentang dunia dimana kita semua hidup sebagai manusia.
Salah satu prinsip dasar lainnya yang terkait dengan fenomenologi menyebutkan bahwa hanya sebuah analisis kegiatan dan susunan kesadaran yang bisa memberikan pengertian tentang fenomena yang kita alami karena kesadaran diri mewakili mereka.Husserl menekankan aspek kesengajaan dari kesadaran; kesadaran diarahkan terhadap objek-objek; kesadaran yang bermuatan aksi-aksi yang disengaja dan objek-objek yang diinginkan.Landasan Husserl adalah kesadaran dan objek yang dimaksudkannya; kesadaran tidak terpisah dengan dunia, tetapi bergabung melalui niatan.

Fenomenologi tersusun dari beberapa asumsi, yaitu:
1.         Fenomenologi menampilkan pengalaman manusia yang bersifat inheren dan subjektif
2.         Fenomenologi menjelaskan pengalaman subjektif sebagai esensi dari struktur pengalaman manusia
3.         Fenomenologi membuat kita dapat mengakses struktur pengalaman dengan mendiskripsikan pengalaman tersebut[3]

Fokus fenomenologi terletak pada bagaimana kita memberikan makna terhadap pengalaman, Fenomenologi sebagai metodologi penelitian, yang terdiri dari fenomenologi deskriptif & fenomenologi interpretif.Metodologi yang mendasari fenomenologi mencakup empat tahap:

1.                  Bracketing, proses mengidentifikasi dengan menunda setiap keyakinan dan opini yang sudah terbentuk sebelumnya tentang fenomena yang sedang diteliti.
2.                  Intuition, terjadi ketika seorang peneliti tetap terbuka untuk mengkaitkan makna-makna fenomena tertentu dengan orang-orang yang telah mengalaminya. Intuisi mengharuskan peneliti menjadi seseorang yang benar-benar tenggelam dalam fenomena tersebut.
3.                  Analysing, melibatkan proses seperti coding (terbuka, axial, dan selektif), kategorisasi sehingga membuat sebuah pengalaman mempunyai makna yang penting. Setiap peneliti diharapkan mengalami kehidupan dengan data yang akan dideskripsikan demi memperkaya esensi pengalaman tertentu yang bermunculan.
4.                  Describing, menggambarkan. Peneliti mulai memahami dan dapat mendefinisikan fenomena menjadi “fenomenon” (fenomena yang menjadi).
Fenomenologi mendeskripsikan, “how one orients to lived experience” atau peneliti fenomenologi selalu mengajukan “question the way we experience the world, to want to know the world in which we lives as human beings”.

Fenomenologi Transendental menurut Husserl, suatu pendekatan filsafat yang mengambil pengalaman intuitif fenomena (apa yang terpresentasi kepada kita sebagai bentuk refleksi fenomenologis) dijadikan sebagai titik awal dan sekaligus dari sana pula kita mengekstrak esensi pengalaman orang lain, mendapatkan makna pengalaman sesungguhnya.
            Fenomenologi menolak pandangan dunia ilmiah atau sistem metafisika yang menggabungkan ilmu-ilmu di atas bidang karena ilmu-ilmu tersebut merupakan gambaran dasar.

·                     Teori Fenomenologi menurut Alfred Schutz

Schutz tampaknya tidak begitu saja menerima konsep yang ditawarkan Husserl.Schutz lalu mengubah proyek filosofis Husserl menuju cara-cara anggota umum masyarakat mencermati kehidupan sehari-hari mereka dengan pemahaman etnometodologis. Schutz menegaskan ilmu-ilmu sosial mestinya lebih memusatkan perhatiannya pada cara-cara dunia kehidupan, yaitu dunia yang diterima apa adanya oleh setiap individu, dialami oleh para anggotanya. [4]
Pendekatan Alfred Schutz berbeda dengan pendekatan Husserl, bahwa pendekatan fenomenologi Schutz terhadap realitas sosial dapat dicirikan pada imanen dan duniawi.Schutz tidak terlalu membahas tentang mengungkap karakter tertentu dari suatu gejala melainkan sebagai konsep sejarah sosial dalam arus kehidupan sosial yang sadar dan riil, juga memahami dunia sosial sebagai realitas yang diinterpretasikan secara menyeluruh.Fenomenologi Schutz memandang dunia kehidupan sehari-hari ialah realitas fundamental dan terpenting manusia yang dikonstruksikan sebagai intersubjektivitas.Intersubjektivitas adalah ketentuan dunia nyata dan tidak memerlukan eksplikasi fundamental.Bahwa kita menanggapi interaksi sosial dan hidup dalam dunia nyata yang sudah terbentuk sebagai komunitas.
Menurut Schutz, pengamat ilmiah berurusan dengan cara memaknai dan menjadikan dunia sosial bermakna. Fokus kajiannya dicurahkan pada cara anggota-anggota dunia sosial memahami dan menindaklanjuti objek pengalaman mereka seolah-olah objek pengalaman tersebut merupakan benda-benda yang berdiri sendiri dan terlepas dari diri mereka. Inilah titik tolak radikal dari asumsi-asumsi yang mendasari sikap alami oleh Schutz, dan merupakan sikap yang menganggap dunia pada prinsipnya berada di luar sana. Benar-benar terpisah dari aksi persepsi atau interpretasi.

Schutz merupakan orang pertama yang menerapkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial.Schutz melihat secara jelas implikasi sosiologisnya didalam analisis ilmu pengetahuan, berbagai gagasan dan kesadaran.Schutz tidak hanya menjelaskan dunia sosial semata, melainkan menjelaskan berbagai hal mendasar dari konsep ilmu pengetahuan serta berbagai model teoritis dari realitas yang ada.
Dalam pandangan Schutz memang ada berbagai ragam realitas termasuk di dalamnya dunia mimpi dan ketidakwarasan.Tetapi realitas yang tertinggi itu adalah dunia keseharian yang memiliki sifat intersubyektif yang disebutnya sebagai the life world. Menurut Schutz ada enam karakteristik yang sangat mendasar dari the life world ini, yaitu:
1.                  Wide-awakeness, ada unsur dari kesadaran yang berarti sadar sepenuhnya
2.                  Reality, orang yakin akan eksistensi dunia
3.                  Dalam dunia keseharian orang-orang berinteraksi
4.                  Pengelaman dari seseorang merupakan totalitas dari pengalaman dia sendiri
5.                  Dunia intersubyektif dicirikan terjadinya komunikasi dan tindakan sosial
6.                  Adanya perspektif waktu dalam masyarakat.

·                     Teori Fenomenologi menurut Peter L. Berger

Fenomenologi menurut Peter L. Berger adalah semua yang kita tahu dan ada, hanyalah sebatas konstruksi sosial, konstruksi sosial atas kenyataan.Sosiologi Fenomenologis adalah jenis sosiologi yang berasal dari filsafat fenomenologis.Tujuan utama sosiologi jenis ini adalah untuk analisis dan penjelasan mengenai kehidupan sehari-hari dan kondisi kesadaran yang diasosiasikan dengannya.Studi ini dilakukan dengan mengabaikan penilaian-penilaian tentang struktur sosial, yaitu dengan tidak membuat asumsi-asumsi tentang eksistensi atau kekuatan sebab-akibat dari struktur sosial.[5]
            Para ahli fenomenologi berargumen bahwa meskipun orang secara umum tidak pernah mengapresiasi kehidupan sehari-hari, analisis fenomenologis harus menunjukkan bagaimana semua itu terjadi.Sosiologi Fenomenologis adalah bagian dari gerakan mengkritisi metode-metode positivis dalam sosiologi.
Menurut Peter L. Berger cara kerja Fenomenologi memaknai sebuah objek yang berupa ide, nilai, budaya dan norma yang dilihat sebagai pusat organisasi yang mensosialisasikan maknanya pada masing-masing anggotanya. Cara kerjanya dibagi atas 3 bagian, yaitu
1.                    Eksternalisasi, yaitu individu mempengaruhi masyarakat karena ia bagian dari masyarakat itu sendiri
2.                    Objektifitas, yaitu proses dimana orang-orang dapat menangkap dan memahami realitas, individu memaknakan kembali nilai dalam kelompoknya
3.                    Internalisasi, yaitu masyarakat mempengaruhi individu di dalamnya. Peresapan kembali realitas tersebut oleh manusia dan mentransformasikannya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif

Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang disebut sebagaisosialisasiprimer, yaitu saat dimana seseorang berusaha mendapatkan dan membangun tempatnya dalam masyarakat. 

A.                 Media Massa dan Konstruksi Realitas

Teori konstruksi sosial ini, seperti telah disinggung, diterapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam sosiologi pengetahuan. Suatu masyarakat terjadi dan terbentuk pada berbagai tingkat (Kleden,2004).  Di tingkat pertama, pembentukan masyarakat terjadi melalui tiga proses, yakni Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi.
Pola peliputan insvestigatif (investigative reporting) yang disusun oleh seorang mahasiswa jurnalistik untuk membongkar sebuah kasus, misalnya, adalah eksternalisasi idenya tentang tahap-tahap pelaporan atau peliputan berita yang harus dilakukan tim jurnalis. Kalau kemudian tahap-tahap liputan itu sudah menjadi berita di media massa, yang terjadi adalah objektivikasi. Sebuah ide menjadi objektif dalam sebuah benda, lembaga, atau tingkah laku yang menjadi pengejawantahannya. Jika kemudian mahasiswa jurnalistik masih melihat pola peliputan investigatsi yang sama masih diterapkan untuk menyelidiki, terjadilah internalisasi.
                        Dalam studinya, Bungin, antara lain memaparkan :
Ketika Berger dan Luckmann menjelaskan mengenai konstruksi sosial maka konstruksi sosial yang dimaksud adalah sebuah proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang terjadi antara indvidu di dalam masyarakat. Ketiga proses di atas terjadi secara simultan mebentuk dialektika, serta menghasilkan realitas sosial berupa pengetahuan umum, konsep, kesadaran umum, dan wacana public. Dalam pandangan Berger dan Luckmann, konstruksi sosial itu dibangun oleh individu dan masyarakat secara dialektika.Konstruksi sosial itu ialah realitas sosial yang berupa realitas objektif, subjektif, maupun simbolis.Sedangkan materi realitas sosial itu adalah konsep-konsep kesadaran umum, dan wacana public.(Bungin, 2008-212).[6]
Bungin (2008:212) menyampaikan Tiga Koreksi :
·                     Pertama
Subjek konstruksi tidak selamanya terjadi langsung di antara individu atau antara individu dengan masyarakat dan Negara, tetapi subjek konstruksi juga bisa berasal dari media, walaupun gagasan-gagasan konstruksi tetap ada pada individu pengendali media. Dalam medium iklan televise, subjek individu yaitu copywriter dan visualize  atau bahkan kapitalis (pemilik iklan), tidak memiliki kekuatan konstruksi apa-apa di mata individu pemirsa, kecuali karena gagasan-gagasan mereka telah disiarkan melalui media televise. Jadi menurut Bungin, konstruksi iklan atas realitas sosial itu terjadi karena iklan televise adalah bagian dari media televise dan menjadi salah satu sumber otoritas televisi. Menurut Bungin, konsep konstruksi sosial yang dimaksud Berger dan Luckmann jika diterapkan melalui media televisi, kekuatan konstruksi  sosial akan berlipat ganda dan mempermudah kepentingan-kepentingan tertentu untuk menggunakannya sebagai alat hegemoni.

·                     Kedua
Objek yang dibangun konstruksi sosial Berger dan Luckmann adalah pengetahuan tentang realitas sosial berupa wacana public, kesadaran umum, dan konsep-konsep yang objektif, subjektif maupun simbolis. Di dalam studi ini, realitas sosial yang dibangun oleh konstruksi iklan televisi, menurut Bungin adalah realitas yang bersifat maya, hanya ada di dalam media karena itu bersifat subjektif dan simbolis.

·                     Ketiga
Menurut pandangan Bungin, gagasan konstruksi solsial Berger dan Luckmann dapat didekonstruksi oleh individu sebagai bagian proses dialektika antara pemikiran konstruksi sosial itu sendiri yang akhirnya akan membentuk keputusan-keputusan perilaku konsumen sehingga meski proses dekonstruksi itu sebenarnya berada di luar konsep konstruksi iklan, tetapi konstruksi iklan diperlukan untuk memperkuat konstruksi sosial itu sendiri.

Mengutip teori Berger dan Luckmann, Hamad (2004: 12) memaparkan bahwa dalam proses konstruksi realitas, bahasa merupakan unsure utama. “Bahasa merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas,” kata Hamad. Dengan kata lain bahasa ialah alat konseptualisasi  dan alat narasi.  Jika dicermati secara teliti, seluruh isi media, entah media cetak, elektronik, dan internet, menggunakan bahasa verbal maupun non verbal.[7]

Demikianlah dalam paradigma komunikasi, baik studi Bungin dan Hamad, keduanya seolah memperkuat paradigm konstruktivisme di mana realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial sehingga kebenaran suatu realitas sosial bersifat relative.Dalam penjelasan ontologism, realitas sosial yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial, sedangkan dalam konteks epistemology, pemahaman tentang suatu realitas merupakan produk interkasi antara peneliti dengan objek yang diteliti.Dalam konteks aksiologi, peneliti sebagai passionate participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial, dan tujuan penelitian adalah rekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

B.     Realitas Sosial Sebagai Pengetahuan Sosiologi

Teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann sangat dipengaruhi oleh Alfred Schitz. Mereka merupakan tokoh penting yang menjadikan fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah digunakan dalam sosiologi melalui kar-karya mereka, The Social Construction of Reality  danPhenomenology and Sociology (1978). Berger dan Luckmann berusaha menjembatani perbedaan sekularisasi.Mereka melakukan intepretasi kehidupan religius masyarakat modern.
Beberapa tulisan Berger dan Luckmann menekankan sentralitas pengalaman manusia dalam (hal ini oleh beberapa pengamat mempengaruhi teori Jurgen Habermas mengenai tindakan komunikatif).Berger dan Luckmann mengembangkan tesis yang menghubungkan antara modernitas/sekulerisasi dan kehidupan agama.Mereka berpendapat bahwa agama mengalami deinstituisionalisasi dan kehilangan fungsi monopolisasi kehidupan sosial sebagai akibat meningkatnya defernsiasi di masyarakat.
“Baru di era ini sifat dasar hidup bermasyarakat yang dialetik dirumuskan dan makin disadari,” begitu kata Berger dan Luckmann.Misalnya dikatakan, “justru corak masyarakat yang serba dua ini yang disebut sebagai kenyataan objektif dan makna subjektif, menjadikan masyarakat suatu realitas yang sui generis yaitu bercorak sendiri atau khusus” (Berger and Luckmann, 1966:18).Menurut mereka, masyarakat mesti dilihat baik sebagai realitas objektif maupun sebagai realitas subjektif (1966:29). “Kita mengerti masyarakat sebagai proses dialetik yang berjalan terus menerus yang terdiri atas tiga saat, yaitu Eksternalisasi, Objektivasi, dan Internalisasi  …  Individu tidak lahir sebagai anggota masyarakat, namun ia mempunyai suatu predisposisi terhadap sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat” (Berger dan Luckmann , 1966:129; Berger, 1967).
Sesuatu yang menjadi persoalan sekarang adalah mampukah sosiologi menyatupadukan segi sosial dan segi individual dari realitas sosial ?
Kata Veeger (1993:15) “Hanya dalam terang filsafat, sosiologi akan diselamatkan terhadap bahaya-bahaya legalisme, kemunafikan, dan penglarutan kepribadian di satu pihak, serta suatu otonomi individu di lain pihak. Filsafat sosial akan bertitiktolak dari manusia yang dwitunggal. Individu dan masyarakat adalah satu.”

C.     Relasi antara Individu dan Struktur Sosial: Sebuah Perdebatan Penting

Bagaimana kita memandang realitas sosial sebagai sebuah pengetahuan sosiologis ? Tampaknya pemikiran Peter Berger dan Thomas Luckmann, melalui karya monumental mereka The Social Constructions of Reality (1966), merintis jalan bagi pemahaman yang lebih dalam tentang tindakan mengetahui (knowing) sebagai fenomena yang dikonstruksi dan didistribusikan secara sosial. Manusia yang bekerja sama sesungguhnya mengembangkan dan berbagi ilmu pengetahuan sebagai upaya dan hasil kolektif, tanpa memperdulikan pandangan tentang produksi ilmu pengetahuan sebagai komoditas yang sangat kecil nilainya.
Dalam pandangan Berger, sosiolog ialah seseorang yang tertarik oleh manusia serta kelakuannya.Ia menyadari betul bahwa gejala lahiriah tidak sama dengan penampakan mereka. Berger mengatakan “Things are not what they seem”. Jika kita melihat gedung-gedung flat di kota-kota besar dari luar, semua akan tampak sama, tetapi di belakang jendela tidak ada dua orang yang sama. Setiap orang menghidupi  kisah hidupnya sendiri.
Oleh karena itu, agaknya cukup beralasan ketika Berger mengatakan bahwa dalam mencari definisi realitas sosial sangat sulit untuk merevisi atau memperbaiki definisi Max Weber, Yakni bahwa situasi sosial adalah situasi di mana orang mengarahkan perilaku mereka yang satu kepada yang lain. Lapisan makna, pengharapan, serta perilaku atau perbuatan yang dihasilkanoleh orientasi timbal-balik ini merupakan bahan untuk analisis seosiologis (Berger, 1963:27). Dengan demikian, sama seperti Max Weber. Berger pun hendak bertolak dari kesadaran manusia.




·                     Teori Fenomenologi menurut Ellys Lestari Pambayun

Pengertian Fenomena dalam studi fenomenologi adalah pengalaman/peristiwa yang masuk kedalam kesadaran subjek.Fenomenologi memiliki peran dan posisi dalam kontek, diantaranya sebagai sebuah studi filsafat, sebagai sikap hidup dan sebagai sebuah metode penelitian.
Secara harafiah, fenomenologi adalah suatu studi yang mempelajari fenomena  seperti penampakan, segala hal yang muncul dalam pengalaman kita. Namun focus perhatian fenomenologi lebih luas dari hanya fenomena, yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya secara langsung).[8]
Menurut Ritzer,2008:219
Fenomenologi “mengungkapkan suatu fenomena yang  tersembunyi agar menjadi fakta yang tampak dan mendalami fenomena yang tampak dengan mengungkapkan fakta yang tersembunyi.

 Metode Fenomenologi
a.      Di mulai dari sebuah kesadaran intersubjektif
Intersubjektif adalah pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Fenomenologi  mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.
Dalam fenomenologi, setiap individu secara sadar  mengalami sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada ada kemudian menjadi pengalaman yang bermakna dalam kehidupan sosialnya.

b.      Logos Fenomenologi
Memfokuskan diri untuk mengetahui dua aspek penting yang biasa disebut “Logos”nya fenomenologi.Yakni “intentionalit” dan bracketing”.Pertama intentionality adalah maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi objektif dan subjektif, untuk memahami sesuatu, maka kedua sisi ini harus dikemukakan.
Kedua bracketing atau disebut reduksi phenomenology, dimana seorang “pengamat” berupaya menyisihkan semua  asumsi umum yang dibuat mengenai susatu fenomena, dimana  seorang pengamat berusaha menyisihkan dirinya dari prasangka,teori,filsafat,agama bahkan common sense sehingga dirinya mampu menerima gejala yang dihadapi (Cresswell, 1998:55).

c.       Tradisi Fenomenologi  pada Ilmu Komunikasi

Tradisi Fenomenologis ini memiliki tiga kajian pemikiran:

1.      Fenomenologi klasik
Edmund Husserl  seorang pendiri fenomenologi moder sering dihubungkan dengan penomenologi klasik. Baginya kebenaran dapat diyakinkan melalui pengalaman langsung dengan catatan kita harus disiplin dalam mengalami segala sesuatu.Kita harus menyingkirkan kategori-kategori pemikiran dan kebiasaan kebiasaan dan melihat segala sesuatuagar dapat mengalami sesuatu dengan sebenar-benarnya.

2.      Fenomenologi Persepsi
Bertentangan dengan Husserl, dimana menganut bahwa pengalaman itu subjektif bukan objektif dan percaya bahwa subjektivitas merupakan bentuk penting  sebuah pengetahuan.
Menurut Ponty, manusia merupakan sosok gabungan antara fisik dan mental yang menciptakan makna di dunia.
Dalam ilmu komunikasi, Stanley Deetz menyimpilkan tiga prinsip dasar fenomenolofi. Pertama, pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar – kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengannya.
Kedua,  Makna benda terdiri  atas kekuatan benda dalam kehidupan seseorang .

3.      Fenomenologi Hermeneutik
Merupakan cabang ketiga dari tradisi fenomenologi, lebih mirip denga yang kedua hanya saja tradisinya lebih luas dalam bentuk penerapan yang lebih lengkap pada komunikasi.Ada beberapa cabang hermeneutika, yaitu penafsiran injil (penjelasan), penafsiran naskah sastra (filologi), dan penafisran tindakan manusia (hermeneutika social). Hermeneutika naskah untuk memahami naskah-naskah injil dan sastra, merupakan tradisi yang paling diasosiasikan dengan Frederick Schleiermacher sedangkan hermeneutic social merupakan tradisi hermeneutika sebagai sebuah alat bantu untuk menafsirkan tindakan. Ini dapat diasumsiskan sebagai hermeneutic kultural.Fenomenologi social fenomenologi social memiliki satu kajian fenomenologi yang memfokuskan diri pada suatu bentuk relasi sebagai individu di dalam lingkungan sosialnya.

4.      Fenomenologi Tradisi atau Metode Penelitian
Alasuutari (1995:35) Fenomenologi adalah untuk melihat bagaiman cara individu dalam menginterprestasikan dunianya dan berusaha membuatnya untuk masuk akal.
Tujuan Penelitian fenomenologi seeecara rinci dapat dijelaskan yaitu:

1.      TD. Wilson dari Sheffield University London, menggunakan pendekatan Schutz, Menyatakan tujuan penelitian fenomenologi adalah kajian tentang bagaimana denomena pengalaman manusia yang disadari  dalam tindakan kognitif dan pemahaman, juga bagaimana mereka dinilai atau diapresiasi secara estesis. Fenomenologi berusaha memahami bagaimana cara orang-orang mengkonstruksi makna dan suatu konsep kunci yang merupakan intersubjektivitas.

2.      Penelitian fenomenologi ditujukan untuk mengetahui bagaimana peneliti menginterprestasikan tindakan sosialnya dan orang lain sebagai sesuatu yang bermakna (dimaknai) dan untuk merekonstruksi  kembali turunan makna (makna yang digunakan saat berikutnya) dari tindakan yang bermakna tersebut  pada komunikasi intersubjektif individu dalam duania kehidupan sosil mereka. (Sudarmanti,2005).[9]

3.      Untuk menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran, dalam kognitif, dan dalam tindakan-tindakan perseptual. Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep kunci secara intersubektif (Kuswarno,2011).
Tahapan fenomenologi sebagai metode penelitian
Fokus Penelitian Fenomenologi
·         Textural description : apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena
·         Structural description : apa yang dialami  subjek penelitian tentang sebuah fenomena
·         Structural description : bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.

Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi

·         Teknik “utama” pengumpulan data : wawancara mendalam dengan subjekpenelitian
·         Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi partisipan,penelusuran dokumen, dan lain-lain

Tahap- Tahap Penelitian Fenomenologi
·         Pra-penelitian
·         Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti
·         Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian

Proses penelitian Fenomenologi
·         Melakukan wawancara mendalam dengan subjek penelitian dan merekamnya

Proses Penelitian Fenomenologi
·         Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara kedalam tulisan
·         Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi
·         Tahap Horizonalization : menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relavan dengan topic
·         Tahap Cluster of Meaning: Rincian pernyataan penting itu diformulasikan dalam makna, dan dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu (Textural Description, Structural description) (Habiansyah,2010)



Permasalahan

Perkembangan media sosial kini semakin pesat dan dapat dengan mudah diakses oleh seluruh kalangan masyarakat, terutama anak muda yang selalu ingin mengetahui perkembangan zaman.Youtuber pun semakin banyak bermunculan menghiasi dunia maya. Mereka berlomba-lomba untuk dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya viewersdan subcribers. Tak hayal hal tersebut menjadikan banyak youtuber yang membuat sensasi demi hal tersebut.
Selebgram dan vlogger yang sedang populer, Awkarin sejak beberapa bulan terakhir menjadi pembicaraan hebat di media sosial. Perempuan bernama asli Karlina Novilda mendadak tenar sejak vlog yang diunggahnya menanyangkan gaya hidup dia bersama teman-temannya dan kisah cintanya yang kontroversial.Tapi lain dari biasanya, kali ini Awkarin mengungah video tentang dia yang berduet bermain musik bersama rapper Samuel Alexander atau yang akrab disapa Young Lex dengan tajuk “BAD”.
Video klip Awkarin dan Young Lex dapat disaksikan di akun resmi Young Lex di laman Youtube.Video yang diunggah sejak 18 September itu sudah disaksikan tujuh ratus ribu orang lebih hingga Selasa 20 September 2016.Namun menariknya, bukan berapa banyak orang yang telah menyaksiksan video Awkarin feat.Young Lex tetapi banyaknya respons negatif masyarakat terhadap video itu di Youtube dibanding jumlah mereka yang menyukainya. 
Lagu Awkarin feat.Young Lex memang berisi sindiran kepada anak-anak remaja yang terjerumus dalam pergaulan buruk tetapi lirik dan video yang tampilkan dianggap memberi contoh yang kurang baik.Banyak orang yang kemudian memberi respons beragam pada sisi tersbut dan merasa kecewa dengan kolaborasi yang dilakukan Young Lex.
Untuk 'melawan' kritikan-kritikan pedas haters yang menusuk, Awkarin pun langsung muncul dengan sebuah karya lagu bertajuk Bad, di mana dirinya berkolaborasi dengan rapper Young Lex. Dalam video Bad sendiri tak kalah viral dan lagi-lagi dihujat, lantaran lirik lagunya.Tak betah dengan hujan kritik yang mendatangi, mereka berdua pun membuat sebuah video 'klarifikasi'.
"Di video itu (bad) 10% kritik pedas tapi bagus, 10% orang kasih saran, dan gue sangat menerima saran, tapi 80% dari komen itu bener-bener menghina. Kalian bilang kita merusak moral bangsa.Di lagu itu kita ngaku salah, kita jujur.Lucunya, ketika orang jujur, kalian malah ngatain." ujar Lex dengan nada berapi-api.
Seperti diketahui, salah satu alasan orang-orang membenci Awkarin adalah karena kehidupan glamornya di usia yang masih sangat muda. Terlebih lagi, Ia juga sering mengucapkan kata-kata umpatan kasar di video-video postingannya. Untuk itu, Awkarin pun meminta maaf.
"Jujur, gue juga ngaku dan nganggep semua perbuatan Karin di video sebelumnya, Vlog atau Snapchat itu nggak bener.Ngomong kasar itu sangat salah. Menurut lo salah nggak?" tanya Young pada Awkarin. "Salah. Dan kemarin waktu aku bikin video confession dan kayak vlog-vlog segala macem itu kayak aku nggak berniat bakal se-booming ini gitu loh. Dan untuk itu aku minta maaf sama kalian semua yang kena dampak buruknya, kayak anak di bawah umur yang nonton. Sebenernya banyak yang lebih parah dibandingkan aku, cuma mungkin karena aku yang lagi ke-expose banget, jadi kayak aku yang salah banget gitu," jawab Karin.
Dalam salah satu liriknya, Lex dan Karin mengatakan bahwabicara kasar itu tidak masalah asal masih dalam batas wajar. Karena banyak orang yang mempertanyakan 'batas wajar' tersebut, Lex dan karin pun menjelaskan bagaimana maksud sebenarnya. "Yes, kita memang ngomong kotor, tapi batas wajar yang kita maksud adalah gini, kita tidak mau merugikan orang lain, kita tidak menjahati orang lain. Di video itu kita sama sekali tidak ngomongin orang lain, kita cuma curhat," pungkas Lex.

Dari penjelasan tersebut diatas, terdapat tujuan dari penelitian menggunakan metode fenomenologi. Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Mengetahui makna dan respon dari Youtubers Indonesia terhadap video klip “BAD” yang dipopulerkan oleh Karin Novilda dan YoungLex.
2.      Mengetahui apakah videoklip tersebut dapat mempengaruhi kehidupan penontonnya atau anak muda yang melihat video tersebut.

Hasil Penelitian dan Pembahasan Masalah
Dalam penelitian dengan menggunakan studi fenomenologi, tanggapan para youtuber (pengguna akun Youtube) di Indonesia dalam memaknai atau menilai video klip berjudul BAD dapat dilihat melalui tanggapan di kolom komentar dalam youtube dan melalui wawancara kepada usia 15 – 30 tahun.

Dari pengumpulan data di lapangan, pemaknaan informan youtuber dapat dikelompokkan sebagai berikut:
(1)               Youtubers berusia 15 – 20 tahun sebagian besar memaknai video tersebut sebagai video yang sama sekali tidak baik karena lagu itu menonjolkan bahwa mereka adalah remaja yang tidak bisa diatur dan sangat bangga menyebut dirinya bukan anak yang baik. Namun ada juga sebagian yang berpendapat bahwa Karin dan Younglex adalah remaja yang patut dicontoh karena memiliki gaya keren dan mereka bisa berkarya dengan membuat lagu yang enak didengar.
(2)               Youtubers berusia 20 – 25 tahun menganggap video BAD tersebut memang sangat tidak pantas untuk dilihat oleh anak dibawah umur, dan tidak pantas juga untuk dinyanyikan oleh Karin dan Younglex yang masih belia. Namun di usia 20 sampai 25 ini sebagian besar lebih mengabaikan videoklip tersebut dan mereka memaklumi bahwa anak seumuran Younglex dan Karin memang sedang mencari jati diri, apalagi dengan genre hip-hop yang memang karakternya mengarah ke lirik yang tidak terlalu formal dan karena mereka masih muda jadi mereka bebas berkarya.
(3)               Youtubers berusia 25 – 30 tahun menilai videoklip ini sebagai video yang sangat buruk yang pernah terjadi di Indonesia, sebagian besar mengatakan bahwa video ini merusak moral bangsa khususnya anak muda, dan sangat tidak pantas untuk tetap dipertahankan videonya di Youtube.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dijelaskan bahwa Youtubers Indonesia dalam memaknaisecara aktif terhadap berbagai realitas yang bersifat obyektif dan subyektif dalam videoklip BAD yang pada dasanya hampir semua tidak menyukai video tersebut namun ada pula yang menyukainya, serta cara pandang untuk menilai suka atau tidaknya video tersebut berbeda-beda .
Namun pada dasarnya tindakan komunikatif sifatnya sukarela, yaitu memandang komunikatorsebagai makhluk pembuat pilihan.Ini tidak berarti bahwa orang memiliki pilihan bebas.Lingkungan sosial memang membatasi apa yang dapat dan sudah dilakukan, tapi dalam kebanyakan situasi, ada elemen pilihan tertentu. Sedangkan pengetahuan adalah sebuah produk sosial, pengetahuan bukanlah sesuatu yang ditemukan secara obyektif, tetapi diturunkan dari interaksi di dalam kelompok-kelompok sosial.Bahasa kemudian membentuk realita dan pengertian menentukan apa yang kita ketahui.
Hal ini sesuai dengan teori fenomenologi menurut Husserl berdasarkan pada premis bahwa realitas dunia yang terdiri dari atas benda-benda atau peristiwa merupakan fenomena yang dapat dirasakan atau dipahami melalui dan dalam kesadaran manusia.Artinya, fenomenologi merupakan studi tentang bagaimana kita memahami pengalaman orang lain, dan mempelajari struktur pengalaman yang sadar dari orang lain, baik individu maupun kelompok masyarakat.Pengalaman tersebut bersumber dari titik pandang subjektif atau pengalaman orang pertama yang mengalami pengalaman secara intensionalitas.Dengan fenomenologi, kita dapat mengarahkan analisis kita pada kondisi yang memungkinkan intensionalitas, kondisi yang melibatkan keterampilan dan kebiasaan motorik hingga ke praktik-praktik kehidupan manusia berdasarkan latar belakang sosial sampai kepada penggunaan bahasa sekalipun.



DAFTAR PUSTAKA


Sobur, Alex, (2013) Filsafat Komunikasi; Tradisi dan Metode Fenomenologi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Pambayun, Ellys Lestari, (2013) One Stop Qualitative Research Methodology In Communication;
Konsep, Panduan, dan Aplikasi, Jakarta: Penerbit Lentera Ilmu Cendekia.

M. A, Afrizal, (2014) Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rajawali Pers.

Noor, Juliansyah, (2011) Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, Jakarta: Penerbit Prenadamedia Group.



[1] M. A. Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif , Rajawali Pers, Jakarta, 2014
[2]Alex Sobur, Filsafat Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, hlm. iv
[3] Ibid. hlm. vi
[4] Ibid. hlm. 38
[5] Ibid. hlm. 45
[6]Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodolgy In Communication; Konsep, Panduan, dan Aplikasi, Jakarta, 2013, hlm 95
[7] Ibid. hlm 98
[8] Ibid. hlm. 103
[9] Ibid. hlm 154

1 comment:


  1. Awalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'

    ReplyDelete