Thursday, 8 June 2017

Metodologi Penelitian Kualitatif : ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH

ANALISIS WACANA KRITIS NORMAN FAIRCLOUGH
Metodologi Penelitian Kualitatif


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.         Latar Belakang

Analisis Wacana dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat. 
Wacana adalah proses pengembangan komunikasi yang menggunakan simbol-simbol dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain, ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, misalnya konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatar belakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, dan kepentingan-kepentingan. Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis yang mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. Jadi, wacana dapat dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi.
Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana. 
Bahasa merupakan media bagi manusia dalam berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya. Namun demikian, saat ini definisi bahasa telah berkembang sesuai fungsinya bukan hanya se­bagai alat berkomunikasi. Saat ini, bahasa telah menjadi media perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi. Bahkan bahasa juga menyumbang proses domi­nasi ter­hadap orang lain oleh pihak lain.
Fairclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial.
Berdasarkan uraian di atas, penyusun bermaksud untuk memaparkan tentang  analisis wacana kritis model Norman Fairclough.

1.2.         Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:
1)                  Apa pengertian Wacana ?
2)                  Apa pengertian Analisis Wacana Kritis secara Umum ?
3)         Bagaimana analisis wacana kritis (AWK) model Norman Fairclough?
4)         Apa Dimensi-dimensi analisis wacana kritis (AWK) model Norman Fairclough?
5)         Bagaimana Karakteristik analisis wacana kritis ?

1.3.         Tujuan

Adapun tujuan dalam penyusunan makalah ini antara lain:
1)         Untuk memaparkan pengertian Analisis wacana kritis.
2)         Untuk menjelaskan analisis wacana kritis model Norman Fairclough.
3)         Untuk menjelaskan dimensi-dimensi analisis wacana.
4)         Untuk memaparkan karakteristik analisis wacana kritis.
5)         Untuk memaparkan penerapan analisis wacana kritis model Norman Fairclough.

1.4.         Manfaat

                        Manfaat yang diharapkan dalam penyusunan makalah ini adalah makalah dapat menambah wawasan sekaligus referensi bagi mahasiswa dalam mempelajari wacana, khususnya mengenai analisis wacana model Norman Fairclough.







BAB II

PEMBAHASAN

2.1.         Pengertian Wacana

Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna. Analisa wacana mengkaji bahasa secara terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti dalam linguistik.Analisa wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi.[1]
Dalam pengertian yang sederhana, wacana berarti cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas. Wacana selalu mengandaikan pembicara atau penulis, apa yang dibicarakan, dan pendengar atau pembaca.
Pengertian wacana dapat dibatasi dari dua sudut yang berlainan, pertama dari sudut bentuk atau bahasa, dan kedua dari sudut tujuan umum sebuah karangan yang utuh atau sebagai bentuk sebuah komposisi.[2]
Istilah wacana dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya. Dalam pembelanjaran, wacana merupakan disiplin ilmu baru. Pemunculannya sekitar tahun 70-an. Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaiannya. Arti dari bahasa itu sendiri adalah bahasa merupakan alat komunikasi yang penting bagi manusia sehingga dalam kenyataannya bahasa menjadi aspek penting dalam melakukan sosialisasi atau berinteraksi sosial.
Jadi dapat disimpulkan oleh syamsuddin dalam Yoce bahwa pembahasan wacana adalah pembahasan bahasa dan tuturan yang harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi atau dengan kata lain, makna suatu bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. Pemakaian istilah wacana itu banyak dipakai dalam displin ilmu lain. [3]

2.2.         Pengertian Analisis Wacana Kritis

Analisis Wacana Kritis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (Realitas Sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuknya nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Analisis wacana kritis dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana yang dimaksud disini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana kritis adalah praktik pemakain bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu objek, dan lewat bahasa ideologi terserap didalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari dalam analisis wacana kritis.
Barker and Galasinki, Fairclough, Gavey, Gray, Hinshaw,Feetham and Shaver, McNay, Philips and Hardy, Philips anda Jorgensen, Tischer, Meyer, Wodak and Vetter, Wodak and Meyer, Wood and Kroger mengemukakan dalam Yoce dalam bukunya Analisis Wacana Kritis bahwa Analisis wacana (atau yang juga disebut analisis wacana kritis) adalah pendekatan yang relatif baru dari sistematika pengetahuan yang timbul dari tradisi teori sosial dan analisis linguistik yang kritis.
Analisis wacana kritis mengkaji tentang upaya kekuatan sosial, pelecehan, dominasi, dan ketimpangan yang direproduksi dan dipertahankan melalui teks yang pembahasannya dihubungkan dengan konteks sosial dan politik Analisis wacana kritis mungkin dilakukan dengan cara berbeda, tetapi sama semua variasi prosedur mempunyai beberapa tujuan dan asumsi.
Dalam Analisis wacana kritis, wacana tidak semata-mata dipahami sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, memang analisis wacana kritis menggunakan bahasa dalam teks yang dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis dalam analisis wacana kritis berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa yang dianalisis oleh analisis wacana kritis bukan menggambarkan aspek bahasa saja, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks dalam hal ini berarti bahasa dipakai untuk tujuan tertentu termasuk didalamnya praktik kekuasaan.
Menurut Fairclough dan Wodak dalam Yoce analisis wacana kritis melihat pemakaian  bahasa baik tuturan maupun tulisan yang merupakan bentuk dari praktik sosial. Menggunakan wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialeksis di antara peristiwa deskriptif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai fakta penting, yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan-ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Perlu diketahui bahwa bahasa merupakan salah satu akar persoalan secara keseluruhan, maka aspek linguistik terhadap bahasa adalah penting.
Dalam analisis wacana kritis struktur linguistik digunakan untuk menyistemasikan, mentransformasikan, dan mengaburkan analisis realitas, mengatur ide dan perilaku oranglain serta menggolong-golongkan masyarakat. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan di atas, teks analisis wacana kritis menggunakan unsur kosakata, gramatika, dan struktur tekstual sebagai bahan analisisnya.
Analisis wacana kritis mempelajari tentang dominasi suatu ideologi serta ketidakadilan dijalankan dan dioperasikan melalui wacana. Kata ideologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ideayang berarti gagasan, lugas berarti ilmu. Secara harfiah, ideologi berarti ilmu tentang ide-ide sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan ilmu, dan pengetahuan.[4]

2.3          Tentang Norman Fairclough

Norman Fairclough lahir 1941, fairclough adalah Profesor emeritus dari Linguistik di Lancaster University .Dia adalah salah satu pendiri dari analisis wacana kritis (CDA) yang diterapkan pada sosiolinguistik.CDA prihatin dengan bagaimana kekuasaan dilakukan melalui bahasa.CDA studi wacana;di CDA ini termasuk teks, bicara, video dan praktek.
Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu komunikasi. Saat ini dia masih tercatat sebagai Guru Besar linguistik di Department of Linguistics and English Language, Lancaster University, Inggris. Fairclough adalah salah seorang yang mengembangkan pendekatan analisis wacana kritis yang merupakan cabang dari linguistik dan analisis wacana (discourse analysis). Fairclough meminati masalah kajian kritis wacana dalam teks berita dimulai sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi.Sosok satu ini dikenal terutama oleh mahasiswa komunikasi dengan sumbangan pemikirannya pada pengembangan metodologi analisis wacana kritis.

2.4          Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Fairclough mengemukakan dalam Yoce bahwa Analisis Norman Fairclough didasarkan pada pertanyaan besar, bagaimana menghubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis tekstual yang selalu melihat bahwa dalam ruang tertutup dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Titik perhatian Fairclough adalah melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologi tertentu. Dalam hal ini dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Bahasa secara sosial dan kritis adalah bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur sosial. Oleh karena itu, analisis harus dipisahkan pada bagian bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.
Fairclough membuat suatu model yang mengintegrasikan secara bersama-sama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik, pemahaman sosial dan politik, dan secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial (Social Change). Fairclough memusatkan wacana pada bahasa. Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Bahasa sebagai praktik sosial mengandung implikasi yaitu            :
1)                  Wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia realita. Pandangan ini tentu saja menolak bahasa sebagai bentuk individu.
2)                  Model ini mengimplikasikan adanya hubungan timbal balik antara wacana struktur sosial. Dalam hal ini, wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas, dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu pada buku, pendidikan, sosial, dan klasifikasi.

2.5          Dimensi Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough

Norman Fairclough mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana dalam tiga dimensi, yaitu Teks, Discourse Practice, dan Sosciocultural Practice.
1)                  Teks
Dalam model Fairclough, Teks dianalisis secara linguisti,dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Ia juga memasukan koheresi dan kohesivitas, bagaimana antara kata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian, semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut. Pertama, idesional yang merujuk pada referensi tertentu, yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologi tertentu. Kedua, Relasi merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembicara, seperti apakah tekad disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Kemudian yang ketiga, identitas merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas penulis dan pembaca serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan.

2)                  Discourse Practice
Discourse Practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Produksi teks cerita semacam ini berbeda dengan ketika seorang penyair menghasilkan teks puisi, yang umumnya dihasilkan dalam suatu proses yang personal. Konsumsi juga bisa dihasilkan secara personal ketika seseorang mengonsumsi teks (seperti ketika menikmati puisi).
3)                  Sociocultural Practice
Dimensi Sociocultural Practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks dan konteks, disini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.[5]

2.5          Karakteristik Analisis wacana kritis

               Ada lima karakteristik analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh Van djik, Fairclough, wodak dan Eriyanto dalam Yoce. Karakteristik tersebut adalah          :
1)      Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action). Seseorang berbicara, menulis, dengan menggunakan bahasa untuk berikteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Dengan pemakain rencana ini, ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana dilihat. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, membujuk, mengganggu, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang membaca atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik maksud besar maupun kecil. Kedua,wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kehendak atau diekspresikan di luar kesadaran.
2)      Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis dalam konteks tertentu. Analisis wacana kritis juga memeriksa konteks dari komunikasi, siapa yang mengonsumsikan, dengan siapa, dan mengapa. Dalam jenis khalayak dan dalam situasi apa, melalui medium apa, bagaimana perbedaan tipe perkembangan komunikasi, dan bagaimana hubungan antara setiap pihak.
3)      Historis
Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya kita melakukan analisis wacana teks selebaran mengenai pertentangan terhadap Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis, tempat teks iu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik dan suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang aau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.
4)      Kekuasaan
Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan . konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan anatar wacana dengan masyarakat, seperti kekuasaan laki-laki. Wacana seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam, dan wacana mengenai rasisme, kekuasaan perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas bawahan, dan sebagainya.
5)      Ideologi
Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk memproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu di terima secara taken for granted. Peranan wacana dalam ideologi adalah untuk mengatur masalah tindakan individu atau anggota suatu kelompok, ideologi membuat anggota suatu kelompok.[6]

2.6    Contoh Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough.

Contoh Wacana yang dikaji menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough.
Wacana Ahok :
“Dibohongin Pakai Al-Maidah 51”
Wacana yang diucapkan oleh Ahok tersebut memiliki implikasi yang sangat luas, baik bagi masyarakat maupun bagi Ahok sendiri sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan dalam politik dalam kapasitasnya di ajang Pilkada DKI 2017. Dengan menggunakan analisis wacana kritis model Fairclough, tulisan ini akan menghasilkan berbagai kemungkinan dalam memahami apa yang sebenarnya ingin diucapkan Ahok. Model Fairclough mengkaji bentuk wacana berdasarkan tiga dimensi: Teks, Discourse Practice dan Sociocultural Practice.
Berikut ini adalah wacana yang dilontarkan oleh Ahok di Kepulauan Seribu saat berbicara mengenai keberlangsungan program pemberdayaan kerapu.
"Jadi nggak usah pikiran,'ah... nanti kalo nggak kepilih pasti Ahok programnya bubar', nggak! Saya (Ahok) masih terpilih sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak pilih saya (Ahok), ya kan! Dibohongin pake surat Al Maidah ayat 51, macem-macem itu, itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu nggak bisa milih nih,'karena saya (bapak ibu) takut masuk neraka', dibodohin gitu ya, nggak apa-apa"
            Berikut Analisa wacana yang diucapkan oleh Ahok  :
1) Polemik pertama: diksi dibohongin dan dibodohin
Dibohongin  pake surat Al Maidah ayat 51
Kata dibohongin yang befungsi sebagai predikat, yaitu tindakan yang melibatkan perkataan atau ucapan. Dalam KBBI , bohong bermakna ‘tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dengan demikian, Kata membohongi tersebut bermakna ‘mengatakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan/tidak jujur/tidak benar. Dalam sebagian besar konteks, diksi dibohongin memiliki nilai rasa negatif. Apa pun kata yang disandingkan dengannya, apa pun namun, dalam hal inibelum mengetahui siapa/partisipan apa yang dibicarakan oleh Ahok karena kalimat yang ia lontarkan atau ucapkan tidak memiliki kelengkapan struktur.
2) Polemik kedua: ketidaklengkapan struktur
Sesuai yang telah dikemukakan oleh Fairclough bahwa untuk merealisasikan tujuan-tujuan di atas, teks analisis wacana kritis menggunakan unsur kosakata, gramatika, dan struktur tekstual sebagai bahan analisisnya. Maka , kalimat yang menimbulkan kontroversi ini belum memiliki kelengkapan informasi: (1) tidak adanya subjek atau target yang dituju dan (2) tidak adanya partisipan.
Berdasarkan dimensi kewacanaan, teks tersebut diucapkan oleh Ahok saat ia mengunjungi Kepulauan Seribu sehingga target yang dituju adalah warga Kepulauan Seribu. Namun, Ada dua kemungkinan siapakah yang dimaksud Ahok di dalam kalimatnya.
Kemungkinan partisipan yang pertama adalah ulama karena pertautan dengan keterangan yang digunakan di dalam kalimat adalah ayat kitab suci.Inferensi (penarikan simpulan) masyarakat didasarkan atas pemahaman umum bahwa pihak yang paling sering menggunakan ayat suci adalah para ulama. Jika kemungkinan pertama ini yang dimaksud, jelas bahwa Ahok menghina Islam karena ulama adalah elemen penting agama Islam. Inilah yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat hingga menyimpulkan bahwa Ahok telah melakukan penghinaan.
Akan tetapi, adalah belum jelas kiranya jika kita hanya menganggap bahwa ulama adalah satu-satunya partisipan yang dimaksud. apabila kita melihatnya dengan konteks situasional sesuai dengan dimensi praktis yang dipaparkan Fairclough, lawan politik adalah partisipan yang paling sesuia atau cocok.Bukankah pernyataan ini terlontar menjelang Pilkada DKI 2017? Hal ini pun diperkuat oleh penyangkalan yang ia lakukan bahwa ia tidak suka ada yang mem-politisasi ayat suci.
Para pendukung Ahok mungkin akan bernapas lega. Mereka dapat membuktikan bahwa Ahok tidak menghina. Akan tetapi, implikasinya juga begitu buruk: kampanye negatif. Wacana yang dipaparkan Ahok telah membuktikan bahwa Ahok sedang melakukan kampanye negatif terhadap lawan-lawan politiknya. Pernyataan Ahok bahwa dirinya tidak memusingkan pilkada ternyata tidak benar. Kalau memang ia tidak memusingkan pertarungan politik dalam pilkada nanti, ia tidak akan melakukan hal tersebut.
3)          Polemik ketiga: bentuk wacana secara keseluruhan
Sesuai karakteristik yang dikemukakan oleh Fairclough,  ideologi dari wacana ini adalah konsep ideologi berdasarkan teks memilikin dua jenis yang bertolak belakang: positif dan negatif. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial.


KESIMPULAN


1.      Analisis wacana yang memusatkan wacana pada bahasa dan titik perhatian fairclough adalah melihat bagaimana pemakai bahasa membawa ideologi tertentu.
2.      Dalam analisis wacana kritis terdapat level makro dan mikro :
a)         Makro : peneliti dan pembaca.
b)         Mikro : posisi objek dan subjek.
3.      Dimensi dalam Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough ada 3 yaitu        :
a)                   Teks
b)                  Discourse Practice
c)                   Sociocultural Practice










DAFTAR PUSTAKA

Darma,  Aliah Yoce. Analisis Wacana Kritis. Bandung: YramaWidya.2009.

Sobur, Alex. Analisis Wacana: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja RosdaKarya.2006.

Purwoko, Herudjati.Discourse Analysis:Kajian Wcana bagi semua Orang.Jakarta: Indeks.2008.



[1]Herudjati Purwoko.Discourse Analysis:Kajian Wacana bagi semua Orang.Jakarta:Indeks.2008.hlm.15.
[2] Alex Sobur. Analisis Wacana: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana Analisis Semiotik dan Analisis Framing.Bandung : PT Remaja RosdaKarya.2006.hlm 11.
[3] Yoce Aliah Darma. Analisis Wacana Kritis. Bandung: YramaWidya. 2009.hlm.1-2.
[4]Yoce Aliah Darma. Analisis Wacana Kritis. Bandung: YramaWidya. 2009.hlm.49-56
[5]Yoce Aliah Darma. Analisis Wacana Kritis. Bandung: YramaWidya. 2009.hlm.89-90.
[6]Yoce Aliah Darma. Analisis Wacana Kritis. Bandung: YramaWidya. 2009.hlm.89-90

MAKALAH METODE PENELITIAN KUALITATIF ANALISA SEMIOTIKA (C.S PIERCE)

MAKALAH METODE PENELITIAN KUALITATIF
ANALISA SEMIOTIKA
(C.S PIERCE)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini perkembangan iklan begitu pesat dan marak bermunculan baik itu dalam media cetak, elektronik, media online maupun media luar ruang. Jenis iklan bermacam-macam bisa berupa iklan produk komersial maupun layanan masyarakat. Iklan memiliki pesan komunikasi yang mudah diingat dan dipahami oleh setiap orang yang membaca, melihat, dan mendengarnya. Dengan segala bentuk kreatifitasnya, iklan telah menjadi unsur penting dalam kehidupan sosial. Iklan bukan hanya sebagai alat pemasaran produk, tetapi iklan juga telah menjual nilai-nilai ideal dalam gaya hidup masyarakat.
Dalam proses komunikasi secara primer, lambang atau simbol digunakan sebagai media dalam penyampaian gagasan atau perasaan seseorang kepada orang lain. Lambang di dalam proses komunikasi meliputi bahasa, gestur, isyarat, gambar, warna, dan tanda-tanda lainnya yang dapat menerjemahkan suatu gagasan atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) secara langsung. Dari berbagai lambang yang dapat digunakan di dalam proses komunikasi, bahasa merupakan media yang paling banyak dipakai karena paling memungkinkan untuk menjelaskan pemikiran seseorang, dan dengan bahasa pula segala kejadian masa lalu, masa kini, maupun ramalan masa depan dapat dijelaskan. Fungsi bahasa yang sedemikian rupa menyebabkan ilmu pengetahuan dapat berkembang dan hanya dengan kemampuan berbahasa, manusia dapat mempelajari ilmu pengetahuan.Kegagalan dalam proses komunikasi banyak disebabkan oleh kesalahan berbahasa atau ketidakmampuan memahami bahasa.
Semiotika merupakan ilmu atau metode ilmiah untuk melakukan analisis terhadap tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Tanda merupakan bagian yang penting dari bahasa, karena bahasa itu sendiri terdiri dari kumpulan lambang-lambang, dimana di dalam lambang-lambang itu terdapat tanda-tanda. Oleh karenanya tentu ada kaitan yang erat antara semiotika dengan proses komunikasi, mengingat semiotika merupakan unsur pembangun bahasa dan bahasa merupakan media dalam proses komunikasi. Pentingnya semiotika dalam komunikasi mendorong para ahli dan ilmuwan semiotik untuk merumuskan berbagai macam teori semiotika. Teori-teori tersebut terus berkembang dan saling melengkapi. Menurut Barthes, bahasa berpengaruh dalam semua aspek kehidupan dan ia boleh ditinjau melalui karya-karya yang terhasil. Karya merupakan cerminan realita sebenarnya yang diungkap dalam bentuk tulisan. Selain Barthes, semiotik merupakan satu bidang yang telah memikat ramai tokoh-tokoh serta ahli falsafah seperti Umberto Eco, Algirdas Julien Greimas, Louis Hjelmslev, Julia Kristeva, Charles Sander Peirce dan Tzvetan Todorov. Tokoh-tokoh tersebut menggunakan pendekatan semiotik untuk mengkaji karya dari berbagai aspek, iaitu daripada aspek perlambangan, imejan, ekspresi hinggalah ke aspek hermeneutik. Dari itu, dapat dilihat bahawa pendekatan semiotik telah mendapat tempat dalam kajian-kajian yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh tersebut sehingga kekuatannya terbukti apabila ia dapat digunakan secara meluas di kalangan para pengkaji. Konsep Teori Semieon adalah istilah yang digunakan oleh orang Greek untuk merujuk kepada sains yang mengkaji sistem perlambangan atau sistem tanda dalam kehidupan manusia. Daripada akar kata inilah terbentuknya istilah semiotik, iaitu kajian sastera yang bersifat saintifik yang meneliti sistem perlambangan yang berhubung dengan tanggapan dalam karya. Menurut Mana Sikana (1985: 175), pendekatan semiotik melihat karya sastera sebagai satu sistem yang mempunyai hubungan dengan teknik dan mekanisme penciptaan sesebuah karya Ia juga memberi tumpuan kepada penelitian dari sudut ekspresi dan komunikasi.
Untuk mengkaji tanda dan makna pada kemasan Indomie goreng cabe ijo, model semiotika Charles Sanders Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda ( sign, object, interpretant )
B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang di maksud metodologi semiotika dan semiotika model Pierce?
2.      Bagaimana menerapkan metodologi semiotika model Pierce untuk menganalisa suatu kasus?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui metodologi semiotika model Pierce
2.      Memberikan gambaran atas contoh masalah yang di pilih dengan di analisa menggunakan metodologi semiotika model Pierce.

D.    Manfaat

1.      Manfaat akademis dari makalah ini adalah sebagai dapat menjadi salah satu sumber pengetahuan tentang metodologi semiotika model Pierce.
2.      Manfaat praktis dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanda digunakan untuk mengkonstruksi sebuah iklan.
3.      Manfaat sosial dari makalah ini adalah untuk memberikan gambaran dan pengetahuan kepada khalayak atas penggunaan tanda dan makna tanda dalam iklan.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Definisi Semiotika
Semiotika adalah Suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. [1]Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi,tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179;Kurniawan.2001:53). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan Antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996:64) konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan Simbol, Bahasa, wacana dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.
Dengan tanda-tanda, kita mencoba keteraturan ditengah-tengah dunia yang centang perenang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan.” Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan ‘membawanya pada sebuah kesadaran’,” ujar Pines (dalam Berger,2000a:14)
Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1). Semiotik  merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek - obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.[2] Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.
Ahli sastra Teew (1984:6)[3]Mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda dan produksi makna tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan suatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semua berkembang dalam bidang bahasa kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai system hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”, dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.[4]
2.2  Macam-macam Semiotika
Sekurang-kurangnya terdapat Sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang, yaitu (Pateda, 2001:29) :
1.         Semiotik analitik, yaitu semiotik yang menganalisis sistem tanda.
2.         Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
3.         Semiotik faunal / zoosemiotik, yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.
4.         Semiotik kultural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
5.         Semiotik naratif, yaitu semiotik yang menelaah sistem tanda narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
6.         Semiotik natural, yaitu semiotik yan khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
7.         Semiotik normatif, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh tanda yang dibuat manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
8.         Semiotik sosial, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik berwujud kata ataupun kalimat.
9.         Semiotik struktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Pada dasarnya, semiosis (proses interpretasi) dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diperikan dalam istilah semiotika sebagai hubungan antara lima istilah: S (s, i, e, , r, c). S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu e karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk contexs (konteks) atau conditions (kondisi) [5]
2.3  Semiotika Charles Sanders Peirce
Menurut Pierce salah satu bentuk adalah kata, Sedangkan objekadalah tanda yang ada dalam benak seseorang, maka munculah maknatentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. (Sobur, 2002:115)”.Pierce juga mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, objeknya adalah kedua, dan penafsiran unsur pengantara adalah contoh dari ketigaan. konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tidak terbatas, selama satu penafsiran (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi lain (yaitu dari suatu makna dan penanda) bisa ditangkap oleh penafsiran lainnya.
Penafsiran ini adalah unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi, penangkap) membentuk tiga jenis penafsiran yang penting. Agar bisa ada sebagai suatu tanda, makna tersebut harus ditafriskan yang dikupas teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan seperti gambar berikut :
Segitiga Semiotik C.S. PEIRCE
SIGN



INTERPRETANT                                                                       OBJECT
Sumber : (Sumbo Tinarbuko, 2008, dalam buku semiotikakomunikasi visual)
Menurut Peircetanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu.tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce disebut objek. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukan oleh Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik
Bagi Charles Sander Pierce (Pateda, 2001:44 dalam Sobur, 2003:41), tanda ”is something which stand to somebody for something insome resfect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda biasberfungsi , oleh Pierce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represntamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakanklasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan ligisign. Berdasarkan Objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dan Berdasarkan Interpretantnya dibagi atas rheme, dicent sign atau decisign dan argument
2.3.1Qualisigns, Sinsigns, dan Legisigns
Untuk mempelajari lebih jauh lagi mengenai sign atau tanda, dapat dilihat pada ground-nya. ”Ground adalah latar belakang tanda. Ground ini dapat berupa bahasa atau konteks sosial” (Ratmanto, dalam Mediator:
Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32). Dalam kaitannya tanda dengan ground-nya, Pierce membaginya menjadi tiga yaitu:
1.      Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda-tanda berdasarkan sifat. Contoh, sifat merah merah mungkin dijadikan suatu tanda. Merah merupakan suatu qualisigns karena merupakan tanda pada bidang yang mungkin. Agarbenar-benar menjadi tanda, qualisigns harus memperoleh bentuk, karena suatu qualisigns dalam bentuknya yang murni tidak pernah ada. Merah akan benar-benar menjadi tanda kalau ia dikaitkan dengan sosialisme, atau mawar, bahaya atau larangan. Misalkan bendera merah, mawar merah, dan lain-lain.
2.      Sinsigns
Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat merupakan sinsigns. Misal jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal orang dan cara jalan, ketawanya, nada suara yang semuanya itu merupakan sinsigns.
3.      Legisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu aturan yang berlaku umum atau konvensi. Tanda-tanda lalu-lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisional, seperti mengangguk yang berarti ”ya”, mengerutkan alis, cara berjabatan tangan. Semua tanda bahasa merupakan legisigns karena bahasa merupakan kode yang aturannya disepakati bersama (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32).


2.3.2.  Ikon, Indeks, dan Simbol
Kaitan tanda juga dapat dilihat berdasarkan denotatum-nya. Menurut Peirce, denotatum dapat pula disebut objek.”Denotatum tidak selalu harus konkret, dapat juga sesuatu yang abstrak. Denotatum dapat berupa sesuatu yang ada, pernah ada, atau mungkin ada” (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32). Peirce membedakan tiga macam tanda menurut sifat hubungantanda dengan denotatum-nya, yaitu:
1.      Ikon
Tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ikon adalah tanda yang keberadaanya tidak bergantung kepada denotatum-nya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Foto, patung-patung naturalis, yang mirip seperti aslinya dapat disebut sebagai contoh ikon.
2.      Indeks
Sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum. Dalam hal ini hubungan antara tanda dan denotatum-nya adalah bersebelahan. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa indeks adalah tanda yang keberadaannya bergantung pada denotatum-nya. Kita dapat mengatakan bahwa tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Asap dapat dianggap sebagai tanda api sehingga dalam kaitannya dengan api, asap ini dapat merupakan indeks. Segala sesuatu yang memusatkan perhatiannya pada sesuatu dapat merupakan indeks, berupa jari yang diacungkan, penunjuk arah angin, dan lain-lain.
3.      Simbol
Tanda yang hubungan antara tanda dan denotatum-nya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku secara umum. Secara umum, yang dimaksud dengan simbol adalah bahasa (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:32-33).

2.3.3        Rheme, Dicisign, dan Argument
Selain kaitan tanda dengan ground dan denotatum-nya, tanda juga dapat dilihat pada interpretan-nya. Peirce menyebutkan bahwa:
”Hal ini sangat bersifat subjektif karena hal ini berkaitan erat dengan pengalaman individu. Pengalaman objektif individu dengan realitas di sekitarnya sangat bermacam-macam. Hal ini menyebabkan pengalaman individu pun berbeda-beda, yang pada gilirannya nanti akan menyebabkan pengalaman subjektif individu pun berbeda” (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:33).
Terdapat tiga hal, menurut Peirce, dalam kaitan tanda dengan interpretan-nya:
1.      Rheme
      Tanda merupakan rheme bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari kemungkinan denotatum. Misal, orang yang matanya merah dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun atau ingin tidur.
2.      Dicisign (atau dicent sign)
Tanda merupakan dicisign bila ia menawarkan kepada interpretan-nya suatu hubungan yang benar. Artinya, ada kebenaran antara tanda yang ditunjuk dengan kenyataan yang dirujuk oleh tanda itu, terlepas dari cara eksistensinya.
3.      Argument
Bila hubungan interpretatif tanda itu tidak dianggap sebagai bagian dan suatu kelas. Contohnya adalah silogisme tradisional. Silogisme tradisional selalu terdiri dari tiga proposisi yang secara bersama-sama membentuk suatu argumen; setiap rangkaian kalimat dalam kumpulan proposisi ini merupakan argumen dengan tidak melihat panjang pendeknya kalimat-kalimat tersebut (Ratmanto, dalam Mediator: Jurnal komunikasi, Vol. 5 No.1, 2004:33).
Tanda dalam pandangan Peirce merupakan sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated). Yang mana ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. Proses semiosis dapat dilihat dalam kombinasi tanda yang dibagi Peirce menjadi:
1.         Menunjukan ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Contoh: asap di udara.
2.         Actually atau Secondness (ke-dua-an) ditujuknya sebagai pengertian. Seperti konfirmasi dengan kenyataan yang keras, benturan pada dunia luar, apa yang terjadi. Secondness merupakan sensasi dari fakta langsung yang muncul atau sensasi seketika. Contoh: asap di udara terjadi karena api.
3.         Regulation atau Thirdness (ke-tiga-an) ditunjuknya sebagai aturan, hukum, kebiasaan, unsur umun dalam pengalaman kita. Thirdness merupakan keberadaan pada apa yang terjadi ketika second berhubungan dengan first. Jadi keberadaan pada apa yang berlaku umum. Contoh asap dan api dapat mengingatkan seseorang pada kebakaran rumah.
4.         Potentially atau Firstness (kepertamaan) ditunjuknya sebagai pengertian sifat, watak, kemungkinan, semacam esensi. Firstness merupakan keberadaan seperti apa adanya tanpamembutuhkan data-data yang mendukung baik dari buku-buku, majalah, internet, dan lainnya, yang berkaitan dengan judul yang penulis paparkan
3.1 ANALISIS SEMIOTIKA DALAM IKLAN
Iklan sebagai salah satu media marketing public relations yang kini banyak diminati. Kelebihan memasarkan product melalui iklan di televisi adalah mampu menjaring dan mengantarkan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat yang menyaksikan. Selain itu, iklan dianggap cukup efektif karena memiliki unsur visual dan audio visual. Istilah advertising itu sendiri datang dari kata kerja bahasa latin “advertere” yang berarti ‘mengarahkan perhatian seseorang ke ‘ (Danesi, 2010: 222). Hal ini menyatakan suatu bentuk pengumuman atau representasi yang dimaksudkan untuk mempromosikan penjualan tertentu. “Iklan perlu dibedakan dengan bentuk representasi dan kegiatan lainnya yang diarahkan untuk emmbujuk, dan mempengaruhi pendapat, sikap, dan perilaku orang-orang seperti propaganda, publisitas, dan hubungan masyarakat” (Danesi, 2010: 223).
Iklan terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu iklan konsumen dan iklan perdagangan. Iklan pada dasarnya mengikuti bagaimana tujuan-tujuan promosi dan pemasaran yang telah dibuat.  “Pada dasarnya tanda dalam iklan terdiri dari tanda-tanda verbal dan non verbal. Tanda verbal mencakup bahasa yang kita kenal sedangkan tanda-tanda non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan” (Wibowo, 2011:129) .
Suharko mengatakan “iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya” (Wibowo, 2011:128).

3.2 Analisis Charles Sanders Peirce






BAB III
PENUTUP

 KESIMPULAN
Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk menganalisa unsur semiotika dan mendeskripsikan makna dari tanda-tanda yang terdapat di dalam iklan Indomie versi “Mie goreng rasa cabe ijo”. Tanda-tanda tersebut dianalisa dan dimaknai menggunakan metode semiotika Charles Sanders Pierce, dan berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut:
·         Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut: Produk  Indomie Goreng Cabe Ijo merupakan inovasi baru dari produk mie instan yang sebelumnya pernah ada, sehingga ada ketertarikan tersendiri baik dari segi tampilan warnanya sensasi ijo,  rasanya  yang  brilian  dan  khas  yaitu  rasa  cabe  ijo,  dari  segi  merek  yang terkenal  yaitu  Indomie yang nyatanya sudah lebih dari 40 tahun berada di Indonesia, artinya Indomie sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam masyarakat dan serta  harganya  yang  terjangkau  dan  ekonomis.  Sehingga menimbulkan rasa  penasaran  untuk  mencoba  dan  menstimulasi  orang  yang menonton iklan melalui media tersebut.







DAFTAR PUSTAKA

Sobur, Alex 2013.Semiotika Komunikasi. Bandung  : Remaja Rosdakarya
Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya
Aart, Van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya Jakarta: Yayasan Sumber Agung
Teew, A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka



[1] Drs. Alex sobur, M,si , Semiotika Komunikasi (Bandung : PT Remaja Rosdakarya , 2013), h.15.
[2]Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
[3]Teew, A., Khasanah Sastra Indonesia (Ja-karta: Balai Pustaka, 1984)
[4] Drs. Alex sobur, M,si , Analisis Teks Media(Bandung : PT Remaja Rosdakarya , 2006), h.87.

[5] Drs. Alex sobur, M,si , Analisis Teks Media(Bandung : PT Remaja Rosdakarya , 2006),h. 100-101