sumber gambar : google images |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Teori
interaksionisme simbolik merupakan teori sosiologi modern. Dalam
interkasionisme simbolik dapat dilihat bhawa interaksionisme simbolik
memusatkan perhatian lebih kepada individu, tentang bagaimana individu
berinteraksi dengan individu lain dengan simbol signifikan dalam bentuk bahasa.
Ilmuan
yang memiliki andil dalam merintis interaksionisme simbolik adalah : James Mark
Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, Willian I. Thomas,
dan George Herbert Mead. Namun , dari antara semua ilmuan tersebut, George
Herbert Mead yang paling populer sebagai peletak dasar teori tersebut. George
Herbert Mead mengembangkan teori interaksi
simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor
filsafat di Universitas Chicago. Dikenal telah mengajar satu generasi ilmuan
yang brilian dalam bidang mereka, Mead menulis banyak artikel. Namun
gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkebang pesat setelah
para mahasiswanya menerbitkan catatan-catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama
melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni
Mind, Self, and Society (1934). Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga
berlangsung melalui inter pretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan
para mahasiswa dan pengikutnya, terutama salah satu mahasiswanya, Harbert
Blumer. Justru Blumer lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik”mpada
tahun 1937 dan mempopulerkannya dikalangan komunitas akademik.
Interaksionisme
simbolik juga telah mengilhami perspektif – perspektif lain, Seperti “Teori
Penjuluka” (Labeling Theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku
(deviance), Perspektif Dramaturgis dari Ervin Goffman, dan etnometodologi dari
Harold Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dikatakan sebagai varian
interaksionisme simbolik.
Pada
tahun 1950 Manford H. Kuhn mengaplikasikan pandangannya dengan menggunakan
tekhnik “Tes Dua Puluh Pernyataan” (The
Twenty Statement Test atau TST), yang dikenal juga dengan Tes “Siapa aku?” (the
“Who am I?” test) dalam upaya mentransformasikan konsep-konsep interaksinisme
simbolik kedalam variable –variabel yang mungkin berguna dalam menghasilkan dan
menguji proposisi-proposisi empiris. Ia misalnya merumuskan definisi-definisi
operasional yang eksplisit tentang “diri”, “tindakan sosial,” objek sosial,”
“kelompok rujukan,”dan konsep-konsep lainnya. Pendekatan Kuhn lazim disebut
sebagai “teori diri” (self theory), namun teori yang dikembangkan oleh kuhn
dianggap menyimpang dari arus utama (interaksionisme simbolik Mahzab Chicago)
yang dikembangkan oleh Mead , Blumer, Goffman, dan ilmuan-ilmuan interpretivis
lainnya.
Kuhn menulis “Sikapnya terhadap dirinya sendiri sebagai suatu objek
merupakan indeks terbaik terhadap rencana tindakan ini , dank arena itu
terhadap tindakan itu sendiri, dalam arti bahwa rencana-rencana tindakan itu
merupakan titik pangkal yang memungkinkan penilaian –diri dan penilaian lainnya
dibuat.
Menurut teoretisi interaksi
simbolik, kehidupan social pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan
menggunakan symbol-simbol.” Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan
symbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran
atas symbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam
interaksi social.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
makalah kami, kami akan mengangkat beberapa rumusan masalah mengenai
Interaksionisme Simbolik . Antara lain :
1. Mengetahui
Pengertian dan Apa itu Interaksioneisme Simbolik ?
2. Prinsip
dasar Interaksionisme Simbolik ?
3. Tujuan
Interaksionisme Simbolik ?
4. Bagaimana
Proses pemaknaan dan Prosedur penelitian Interaksionisme simbolik ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
METODE INTERAKSI SOMBOLIK
Interraksi simbolik dapat dibilang
sebgai interaksi sosial . interaksi sosial adalah suatu pendekatan yang banyak
digunakan dalam psikologi sosial . Psikologi sosial sendiri terkait dengan
pemikiran George Herbert Mead dan Herbert Blumer. Herbert Menegaskan bahwa
setiap tindakan individu adalah produk masyarakat, lebih khusus lagi produk
interaksi sosial. Manusia menyadari diri dengan membuka diri kepada orang lain,
sekaligus juga dengan menjadi objek pada dirinya sendiri(1).
Menurut Meltzer, interaksionisme simbolik(2) dianggap relative
homogeny, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mazhab berdasarkan
akar historis dan intelektual mereka yang berbeda.
Teori
Max Weber: payung teori interaksi simbolik
Weber mendefinisikan tindakan
social sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan
suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Bagi Weber,
masyarakat adalah suatu entitas aktif yang terdiri dari orang-orang berpikir
dan melakukan tindakan-tindakan social yang bermakna.
Menurut Schutz,
orang-orang begitu saja menerima bahwa dunia keseharian itu eksis, dan bahwa
orang lain berbagi pemahaman atas ciri-ciri penting dunia ini. Dalam pandangan
Schutz kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap
individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan
kedua adalah berbagai pengkhasan (typication) yang telah terbentuk dan dianut semua anggota suatu budaya,
terdiri dari mitos, pengetahuan budaya, dan akal sehat (common sense). Schutz,
menyatakan para actor social menafsirkan sifat realitas yang relavan dengan
kepentingan mereka, dus realitas menjadi fungsi struktur relavansi mereka dalam
kehidupan sehari-hari.
(1) Metode Penelitian Kualitatif (Prof. Dr.
Conny R. Semiawan) : hal. 86
(2) Metodologi Penelitian Kualitatif (Dr.
Deddy Mulyana, M.A.): hal. 59-89
Teori-teori yang dikemukakan
tokoh-tokoh di atas bersifat konvergen dan saling melengkapi.
Metodologi Interaksionis Simbolik
Interaksionisme simbolik termasuk
ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualiatif yang berasumsi
bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dengan suatu lingkungan yang
alamiah alih-alih lingkungan yang artifisial seperti eksperimen. Lindlof dan
Meyer memasukkan semua penelitian naturalistic ke dalam paradigma interpretif (3).
Secara lebih spesifik, Denzin
mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simolik,
yaitu:
Ø Simbol
dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
Ø Peneliti
harus mengambil perspektif atau peran orang lain namun peneliti harus
membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi
ilmiah mengenai realitas tersebut.
Ø Peneliti
harus mengaitkan symbol dan definisi subjek dengan hubungan social dan
kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
Ø Setting
perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
Ø Metode
penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, juga bentuk perilaku
yang statis.
Ø Pelaksanaan
penelitian paling baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
Ø Penggunaan
konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan dan kemudian
operasional. Teori yang layak menjadi teori formal, bukan teori agung atau
teori menengah dan proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
Interaksionisme
simbolik merupakan suatu perspektif teoretis, namun juga sekaligus orientasi
metodologis .
(3) Metodologi Penelitian Kualitatif (Dr.
Deddy Mulyana, M.A.): hal. 148
Akan tetapi, metodologi yang
disarankan oleh kaum interaksionis sebenarnya tidak eksklusif, namun mirip atau
tumpang tindih dengan metode penelitian yang dilakukan para peneliti
berpandangan fenomenologis lainnya.
Meskipun perhatian interaksionisme
simbolik pada aspek-aspek fenomenologis perilaku manusia mempunyai implikasi
metodologis. Dalam konteks inilah, beberapa pakar interaksionisme simbolik
pasca Mead, antara lain Herbert Blumer, Howard S. Becker, dan Norman K. Denzin,
berusaha menjabarkan bagaimana kaum interasionis seharusnya melakukan
penelitian mereka.
Ciri Interaksi simbolik
Ø Herbert
Mead menggunakan bahasa dalam melengkapi sarana informasi untuk berinteraksi
Ø Semua
berkaitan pemaknaan dengan symbol
Ø Berkaitan
juga dengan diri sendiri dalam pemaknaan yang kita pahami
Ø Konsep-konsep
dengan apa yang dipersepsi orang tentang diri kita dengan persepsi kita sendiri
dengan memaknai persepsi dengan orang sekitarnya
Ø Interaksi
simbolik: berkaitan dengan makna bagaimana sebuah cerita menyampaikan agar si
penerima ini paham
Banyak pakar setuju bahwa pemikiran George Herbert
Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan beberapa cabang filsafat
antara lain pragmatisme dan behaviorisme.
Pragmatisme
Dirumuskan oleh John Dewey, William James, Charles
Peirce, dan Josiah Royce, aliran filsafat ini memiliki beberapa pandangan.
Ø Pertama,
realitas yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara
aktif diciptakan ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
Ø Kedua,
kaum pragmatis juga percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan
mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Semakin
berguna pengetahuan (fakta, definisi, asumsi, nilai, gagasan, pengalaman, dan
sebagainya) yang kita terapkan dalam kehidupan, semakin besar kepercayaan kita
terhadapnya.
Ø Ketiga,
manusia mendefinisikan objek fisik dan objek social yang mereka temui
berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka.
Ø Keempat,
bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus
mendasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.
Behaviorisme
Meskipun pandangan interaksi simbolik sangat berbeda
dengan behaviorisme, pandangan Mead dipengaruhi oleh paham tersebut. Mead
setuju dengan behaviorisme dalam arti manusia harus dipahami berdasarkan apa yang
mereka lakukan. Menurut Mead, behaviorisme social merujuk kepada deskripsi
perilaku pada tingkat yang khas manusia. Jadi, dalam pandangan behaviorisme
social, konsep mendasarnya adalah tindakan social (social act), yang juga
mempertimbangkan aspek tersembunyi perilaku manusia. Mead substansi dan
eksistensi perilaku manusia hanya dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan
basis sosialnya. Dapat disimpulkan, bahwa Mead memperluas teori behavioristik
ini dengan memasukkan apa yang terjadi antara stimulus dan respons.
Bagi penganut interaksi simbolik, masyarakat adalah
proses interaksi simbolik dan pandangan ini memungkinkan mereka menghindari
problem-problem strukturalisme dan idealism dan mengemudikan jalan tengah di
antara kedua pandangan tersebut.
Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan
premis-premis berikut:
Ø Individu
merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespons lingkungan, termasuk objek
fisik (benda) dan objek social (perilaku manusia) berdasarkan makna yang
dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Jadi, individulah
yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.
Ø Makna
adalah produk interaksi social, karena itu makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
Ø Makna
yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi social. Dalam proses
ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternative-alternatif
ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan.
George Ritzer meringkaskan teori interaksi simbolik
ke dalam prinsip-prinsip, sebagai berikut:
1. Manusia,
tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir.
2. Kemampuan
berpikir itu dibentuk oleh interaksi social.
3. Dalam
interaksi social orang belajar makna dan symbol yang memungkinkan mereka
menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir.
4. Makna
dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang
khas manusia.
5. Orang
mampu memodifikasi atau mengubah makna dan symbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi.
6. Orang
mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan
mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka berinteraksi
dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan
tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative, dan kemudian memilih salah
satunya.
7. Pola-pola
tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok dan
masyarakat.
Harbert Blumer dan George Harbert Mead
adalan yang pertama-tama mendefinisikan teori Symbolic Interactionism.
Blumer menutarakan
tiga premis utama interaksionisme simbolik yaitu :
Ø Pemaknaan
(Meaning)
o
Manusia bertindak atau
bersikap terhadap manusia yang lainnya didasari atas pemaknaan yang dikenakan mereka kepada orang lain . yang Artinya ,
Pemaknaan tentang apa yang nyata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa
yang kita yakini sebagai kenyataan itu sendiri.
Ø Bahasa
(Language)
o
Makna berasal dari
hasil proses negosiasi melalui penggunaan
bahasa (language), dalam perspektif interaksi simbolik. Pemaknaan dari
suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara social.
Ø Pikiran
(Thought)
o
Interaksionisme
Simbolik menggambarkan Proses berpikir. Proses
berpikir ini sendiri bersifatreflektif. Menurut Mead, Sebelum manusia bisa
Berpikir, manusia membutuhkan bahasa. Pola berpikir merupaka cara bagaimana
manusia berpikir banyak di tentukan oleh praktek bahasa.
Teori Interaksionisme simbolik memiliki karakter
yang didasarkan pada suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia
dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu.
Interaksi yang dilakukan antara individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan
dengan gerak tubuh, vocal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu
mempunyai maksud dan disebut dengan “symbol” . Simbol – simbol ini sebagian
besar adalah kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Bunyi dan penulisannya sama
tetapi berbeda pada masyarakat yang berbeda dalam mengartikan maknanya.
(Ardianto, 2007 : 40)
Interaksionisme
simbolik berada dalam paradigm Konstruktivisme (Constructivism). Jadi, Inti
dari teori interaksionisme simbolik adalah penafsiran (interpretative). Namun,
yang medasari interpretasi dalam interaksionisme simbolik yaitu fenomenologi , etnometodologi, dan konstruksi social.
Definisi.
Interaksi simbolik menjadi paradigm
konseptual yang interpretit karena
memiliki suatu konsep yang bukan hanya sekedar “melihat” suatu “dorongan” dari
dalam, “sifat pribadi” ,” motivasi yang tidak disadari “, “kebetulan”, “status
sosial ekonomi”, “kewajiban peranan”, “resep budaya”, “mekanisme pengawasan
masyarakat” , atau “diinterpretasikan” sehingga perilaku tersebut menjadi lebih
jelas atau terdefinisikan.
Interaksionisme simbolik hanya memahami perilaku yang dapat didefinisikan
untuk dapat dimaknai.
Aturan,
Nilai, dan Sistem Nilai. Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa
makna mengkonstruk makna simbolik, bukan suatu konse dorongan dan ritual
tentang makan. Selain menjelaskan definisi , interaksionisme simbolik , teori
ini memiliki aturan dan keteraturan, ilai, dan system nilai dalam masyarakat,
ini tidak dapat dibantah.
Diri
(self), bagian dari teori interaksionisme
simbolik penting lainnya adalah konstrak “diri” (self). Diri adalah definisi
yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan lainnya) ditempat ia berada.
Dengan Singkat , kita melihat diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat
kita. Jadi, diri itu juga merupakan konstruk
sosial, yaitu hasil persepsi orang
tehadap dirnya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi.
Cara konseptual diri ini mengarahkan pada penelitian self-fullfing prophecy dan melatari munculnya labeling approach terhadap perilaku seseorang. (Moleong, 2001)
Interaksi simbolik
berfokus kepada interaksi antar manusia dan berusaha memahami bagaimana individu
menafsirkan bahasa dan perilaku orang lain , bagaimana orang-orang memberikan
makna bagi pemikiran dan tindakan mereka sendiri dan mengorganisasikan ketika
berinteraksi dan bernegosiasi ketika berinteraksi dan bernegosiasidengan orang
lain.
Interaksi simbolik
menurut perspektif interaksional merupakan salah satu perspektif yang ada dalam
studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat “humanis”. Di mana .
perspektif ini sangat menonjolkan keagungan dan maha karya nilai individu di
atas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini.
Tokoh-tokoh teori ini antara lain George
Herbert Mead, C.H Chooley, W.I Thomas, Peter L. Berger, Erving Goffman, Harbert
Blummer. Teori ini mengatakan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain tidak
secara langsung , melainkan melalui symbol – symbol.
George Herbert Mead menyatakan bahwa
perbedaan penggunaan bahasa pada akhirnya juga menentukan perbedaan cara
berpikir manusia tersebut. Akan tetepi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak
ditentukan oleh kontes atau konstruks sosial , seringkali interpretasi individu
sangat berperan didalam proses berpikir. DAlam tataran konsep komunikasi, maka
secara sederhana dapat dilihat bahwa komunikasi hakikatnya adalah seatu proses
interaksi simbolik antara pelaku komunikasi.
Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita
melihat diri kita lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita.
(Griffin, 2003) . Konsep diri adalah fungsi secara bahasa . Tnpa pembicaraan
maka tidak akan ada konsep diri. Sebagai contoh adalah baimana proses
komunikasi dan permainan bahasa yang terjadi dalam hubungan antara dua orang,
seperti pasangan suami istri.
Teori tentang “diri” dari George Herbert Mead
Inti dari teori interaksi simbolik adalah teori
tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead. Cooley mendefinisikan diri
sebagai sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa melalui kata ganti orang
pertama tunggal, yaitu “aku” (I), “daku” (me), “milikku” (mine), dan “diriku”
(myself). Ia mengatakan bahwa segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan
emosi leih kuat daripada yang tidak dikaitkan dengan diri, bahwa diri dapat
dikenal hanya melalui perasaan subjektif.
Jadi, diri dan masyarakat saling
mempengaruhi, masing-masing berfungsi sebagai rujukan bagi yang lainnya,
sehingga keduanya disebut sebagai kembar (twin born). Masyarakat terdapat dalam
pikiran-pikiran orang-orang yang merupakan suatu unit social. Sifat penting
masyarakat ditemukan dalam ikatan-ikatan social yang ada antara manusia-manusia
melalui gagasan dan perasaan.
Sementara itu, pandangan Mead
tentang diri terletak pada konsep “pengambilan peran orang lain” (taking the
role of the other). Bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif,
inovatif yang tidak saja tercipta secara social, namun juga menciptakan
masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan.
Jadi, sekali lagi, menurut penganut
interaksionisme simbolik, perilaku manusia tidak determinisitik, sebagaimana
yang dianut kaum positivis; alih-alih, perilaku adalah produk penafsiran
individu atas objek di sekitarnya. Makna yang mereka berikan kepada objek
berasal dari interaksi social dan dapat berubah selama interaksi tersebut
berlangsung. Dalam konteks ini, perspektif interaksi simbolik menekankan peran
penting bahasa bagi perilaku manusia. Ia juga menekankan sejenis pandangan atas
peristiwa yang setengah terbuka, teramalkan secara parsial. Interaksi dianggap
ditentukan oleh aturan, norma, dan arahan.
Pentingnya symbol dan
komunikasi
Bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi.
Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Symbol adalah suatu rangsangan yang
mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia
terhadap symbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam
pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Jadi, semua objek simbolik
menyarankan suatu rencana tindakan (plan of action) dan bahwa alasan untuk
berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap suatu objek antara lain
diisyaratkan oleh objek tersebut.
Menurut Mead, hanya apabila kita memiliki symbol-simbol
yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya. Akan tetapi
tidak semua isyarat vocal merupakan symbol signifikan.
Komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang
berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan didengar, tetapi juga proses
non verbal.
Seperti dikatakan Levine,
komunikasi ujaran (speech) adalah konkret dan dilandasi komitmen pribadi dan
tanggung jawab, sedangkan komunikasi nonujaran (nonspeech) dapat dirundingkan
dan boleh jadi disangkal oleh pengirim. Mead sendiri mengakui, isyarat vocal
dan perilaku yang terkait dengannya dalam masyarakat manusia menyediakan
landasan bagi interaksi simbolik.
Mead menunjukan bahwa perkembangan
diri bergantung pada komunikasi dengan orang lain, terutama sejumlah kecil
orang penting yang membentuk atau mempengaruhi diri sebagaimana orang-orang itu
dipengaruhi kehadiran diri tersebut.
Melalui interaksi dan komunikasi
orang-orang dapat bertukar makna, nilai, dan pengalaman dengan menggunakan
symbol dan tanda. Mead membedakan symbol signifikan yang merupakan bagian dari
dunia makna manusia dengan tanda ilmiah yang merupakan bagian dari dunia fisik.
Yang pertama digunakan dengan sengaja sebagai sarana komunikasi, yang kedua
digunakan secara spontan dan tidak disengaja dalam merespons stimuli.
Rose berpendapat, dalam komunikasi
dengan tanda alamiah, komunikator mengontrol perilaku pihak yang hadir, apakah
dengan sengaja atau tidak, karena tubuh pihak kedua secara tetap merespons
dengan cara spesifik terhadap impak rangsangan atas alat-alat indranya. Dalam
komunikasi dengan symbol signifikan, sebaliknya, komunikator dapat mempengaruhi
perilaku pihak yang hadir, namun ia tidak dapat mengendalikannya, karena symbol
berkomunikasi dengan isi makna dan nilainya bagi pihak yang hadir.
Dalam pandangan fenomenologis
Alfred Schutz yang sejajar dengan pemikiran Mead, dalam interaksi tatap-muka
makna rangsangan yang dicari dan ditafsirkan oleh sang actor secara khas
merujuk kepada motif actor lainnya. Selama proses interaksi, terdapat pertukaran
motif antara para actor yang terlibat. Hal itu merujuk kepada perkiraan
mengenai motif orang lain yang identic dengan apa yang Mead sebut “pengambilan
peran orang lain” (taking the role of the other), yakni membayangkan diri
sendiri dalam posisi orang lain dan memandang segala sesuatu melalui perspektif
orang lain.
Berdasarkan interpretasi tindakan
orang lain, individu dapat mengubah tindakan berikutnya agar sesuai dengan
tindakan orang lain. Modifikasi perilaku ini menuntut orang untuk memastikan
terlebih dahulu makna, motif atau maksud apa yang terdapat di belakang tindakan
orang lain.
Manusia berinteraksi dengan cara berbeda.
Konkretnya, manusia merespons tidak hanya tindakan orang lain, melainkan juga
makna, motif dan maksud tindakan tersebut. Dengan kata lain, manusia harus
mendefinisikan apa makna tindakan yang dihadapinya. Baik komunikator ataupun
pengamat terlebih dulu harus mempelajari makna atau isyarat untuk berkomunikasi
secara simbolik, sementara komunikasi dengan tanda alamiah berlangsung secara
naluriah dan spontan.
Ringlasnya, dalam pandangan Mead isyarat yang
dikuasai manusia berfungsi bagi manusia itu untuk membuat penyesuaian yang
mungkin di antara individu-individu yang terlibat dalam setiap tindakan social
denga merujuk kepada objek atau objek-objek yang berkaitan dengan tindakan
tersebut.
Pikiran
Bagi Mead, tindakan verbal merupakan mekanisme utama
interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh manusia dalam
interaksi social mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind) dan “dir”
(self).
Menurut teori interaksi simbolik, pikiran
mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain, masyarakat harus lebih dulu
ada, sebelum adanya pikiran. Dengan demikian, pikiran adalah bagian integral
dari proses social, bukan malah sebaliknya: proses social adalah produk
pikiran.
Pikiran adalah mekanisme penunjukan-diri, untuk
menunjukan makna kepada diri-sendiri dan kepada orang lain. Pikiran
mengisyaratkan kapasitas dan sejauhmana manusia sadar akan diri mereka sendiri,
siapa dan apa mereka, objek di sekitar mereka dan makna objek tersebut bagi
mereka.
Mead juga melihat pikiran dengan
cara yang pragmatic. Pikiran melibatkan proses berpikir yang diarahkan untuk
memecahkan masalah. Dunia nyata penuh dengan problem, dan fungsi pikiran adalah
berusaha memecahkan problem-problem tersebut. Menurut Schutz, menunjukan makna
objek, situasi, dan perilaku kepada diri-sendiri dan kepada orang lain,
individu harus menggunakan apa yang Schutz sebut “pengkhasan” (typication). Pengkhasan ini, yang berasal dari persediaan
pengetahuan individu yang terendapkan, digunakan untuk menandai individu
manusia, motivasi manusia, tujuan, dan pola tindakan.
Persediaan pengetahuan seorang
individu terus-menerus berubah karena ia memperoleh pengalaman baru dan memasuki
situasi problematic yang baru pula. Jadi, kembali ke teori Mead lagi, diri
tumbuh ketika individu mendapatkan pengalaman baru dan memberi makna kepada
pengalaman dan objek tersebut. Ringkasnya, diri itu bersifat dinamis, selalu
berubah, karena diri mampu mendefinisikan situasi oleh dirinya sendiri tanpa
dikontrol atau ditentukan oleh kekuatan-kekuatan luar.
Perkembangan “diri”
Diri merujuk kepada kapasitas dan
pengalaman yang memungkinkan manusia menjadi objek bagi diri mereka sendiri.
Menurut Mead, perkembangan diri terdiri dari dua tahap umum yang ia sebut tahap
permainan (play stage) dan tahap pertandingan (game stage).
Tahap permainan adalah perkembangan
pengambilan peran bersifat elementer yang memungkinkan anak-anak melihat diri
mereka sendiri dari perspektif orang lain yang dianggap penting (signifikan
others), khususnya orangtua mereka. Tahap ini ditandai dengan keaslian dan
spontanitas pada perilaku anak-anak.
Tahap pertandingan berasal dari
proses pengambilan peran dan sikap orang lain secara umum, yaitu masyarakat
umumnya. Pada tahap inilah, ketika anak memasuki komunitasnya, individu menjadi
suatu objek dalam arti yang sesungguhnya. Pada tahap ini orang tersebut
berusaha memenuhi berbagai harapan orang-orang lain pada saat yang sama.
Menurut Mead, sebagai suatu proses
social, diri terdiri dari dua fase, yaitu “Aku” (I) dan “Daku” (Me). Aku adalah
diri yang subjektif, diri yang refleksif yang mendefinisikan situasi dan
merupakan kecenderungan impulsive individu untuk bertindak dalam suatu cara yang
tidak terorganisasikan, tidak terarah, dan spontan, sementara Daku adalah
pengambilan peran dan sikap orang lain, termasuk suatu kelompok tertentu.
Karena itu diri sebagai objeklah yang meliputi diri social yang dipandang dan
direspons oleh orang lain.
Dengan kata-kata Natanson,
Perbedaan antara “Aku” dan “Daku”,
bagi Mead, bersifat metodologis. Dalam pengalaman, dalam situasi kehidupan yang
sebenarnya, diri dalam aspek “Aku” dan “Daku”nya adalah suatu kesatuan yang
integral yang boleh disebut “kepribadian”. Kedua fase “kepribadian”, dalam
konteks ini, adalah stabilitas dan kebaruan (3)
Prinsip bahwa diri merefleksikan
masyarakat mebutuhkan suatu pandangan atas diri yang sesuai dengan realitas
mengenai masyarakat kontemporer yang rumit. Artinya, bila hubungan social itu
rumit, pastilah ada suatu kerumitan yang parallel dalam diri.
Dalam kajian ilmu komunikasi pendekatan
interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian kualitatif yang
berusaha mengungkapkan realitas prilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme
simbolik adalah fenomenologi.
(4) Qualitative Research Methodology In
Communication (Ellys Lestari Pambayun.): hal. 93 s/d 110
Namun, disbanding penelitian
naturalistic etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme
simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini ppun
mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih mendasarkan pada interaksi
cultural antarpersonal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan
atau kelompok.
Ada tiga premis dasar dari interaksi simbolik menurut Blumer(5) :
a. Pertama, BAhwa tindakan manusia terhadap sesuatu berdasarkan arti yang dimilikinya tentang sesuatu tersebut. Tindakan manusia tidak akan sama kepada semua objek. Karena setiap objek memiliki arti tertentu, maka reaksi manusia terhadap masing-masing objek akan berbeda.
b.Kedua,
arti dari sesuatu muncu dari interaksi sosial. Manusia secara bersama-sama
menciptakan arti kepada suatu objek.
c. Ketiga,
arti dari sesuatu dimodifikasi lewat proses interpretasi.
Muhadjir
(2000:184-185) menambahkan lagi tujuh proposisi intraksionisme simbolik :
Prinsip penelitian
interaksionisme simbolik, yaitu :
a. Simbol
dan interaksi menyatu. Karena itu, tidak cukup seorang peneliti hanya merekam
fakta, melainkan harus sampai pada konteks.
b. Karena symbol
juga bersifat personal, diperlukan pemahaman tentang jati diri pribadi subjek
penelitian.
(5)
Prof.
Dr. Conny R. Semiawan. Metode Penelitian Kualitatif Jenis,Karakteristik dan
Keunggulannya. Jakarta. Grasindo. Tahun 2010. Hal 88-89
c. Peneliti
sekaligus mengkaitkan antara symbol pribadi dengan komunitas budaya yang
mengitarinya
d. Perlu
direkam situasi yang melukiskan symbol
e. Metode
perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya
f. Perlu
menangkap makna dibalik fenomena
g. Ketika
memasuki lapangan , sekedar mengarahkan pemikiran subjek, akan lebih baik
a.
Mengalih-bahasakan dari
partisipan
b.
Perlu mencari latar
belakang dari kontesnya
c.
Menekankan kemampuan
daya pikir manusia untuk mengungkap di balik yang tersaji
d.
Dalam proses pemaknaan
, menuntut kemampuan integrative manusia, inderawi, daya pikir, dan akal budi.
Tidak mengandalkan pandangan “subjektif murni” menggunakan wawasan
“intersubjektif” . Artinya peneliti berusaha merekonstruksi realitaa sosial
interaksi antar anggota komunitas. Penelitian bisa melakukan umpan balik berupa
pertanyaan yang saling menunjang. Penafsiran bukanlah tindakan bebas, melainkan
perlu bantuan yang lain, yaitu sebuah interaksi.
Penafsiran semacam ini menurut Moleong (2001:11)
lebih esensial dalam interaksi simbolik. Oleh karena interaksi menjadi paradigm
konseptual yang melebihi “dorongan diri dalam”, “sifat-sifat pribadi”,
“motivasi yang tidak disadari”, “kebetulan” , “ status sosial ekonomi” ,
“kewajiban peranan”, atau lingkungan fisiknya.
Implikasi penelitian interaksi simbolik, yaitu :
1. Simbol
dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas
2. Penelitian
harus memandang dunia atas dasar sudut pandang subjek.
3. Penelitian
harus mengaitkan symbol dan subjek dalam sebuah interaksi.
4. Setting
(latar) dan pengamatan harus dicatat.
5. Metode
harus mencerminkan proses perubahan
6. Pelaksanaan
harus berbentuk interaksi simbolik
7. Penggunaan
konsep awalnya untuk mengarahkan kemudian ke operasional , proposisi yang
dibangun interaksional dan universal.
Kemajuan zaman semakin pesat ,
peneliti juga memperhatikan ketika pelaku komunikasi berinteraksi melalui
alat-alat canggih.
Seluruh aktivitas komunikasi
semacam itulah yang merupakan sasaran peneliti interaksionisme simbolik. Hal
yang perlu diingat oleh peneliti komunikasi adalah, jangan meremehkan pelaku
komunikasi atau partisipan karena mereka justru partisipan atau actor yang
tidak kalah cerdiknya dengan pemain drama atau film. Karena itu, dari waktu ke
waktu interaksi mereka perlu dicermati secara mendalam.
Catatan penting yang perlu
diperhatikan bagi peneliti interaksionisme simbolik, yaitu :
·
Symbol akan bermakna
penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif
·
Perilaku budaya akan
mampu merubah symbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda
dengan makna yang lazim
·
Pemanfaatan symbol
dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si
pelaku
·
Makna Simbol dalam
interaksi dapat bergeser dai tempat dan waktu tertentu
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, berarti
interaksionisme simbolik merupakan odel penelitian yang lebih cocok diterapkan
untuk mengungkap makna sebagai hasil proses komunikasi sebuah komunitas.
Interaksionisme simbolik lebih memahami hal-hal yang konkret dalam interaksi
baru kemudian ditafsirkan, padahal dibalik jiwa manusia terdapat gelombang
besar yang kadang-kadang tidak tampak.
Teori labeling ini pada
prinsipnya menyatakan dua hal , Pertama, Orang berperilaku normal atau tidak
normal , menimpang atau tidak menympang, tergantung pada bagaimana orang lain
(orangtua, keluarga, masyarakat) menilainya. Kedua, penilaian itu berubah dari
waktu ke waktu, sehingga orang yang hari ini dinyatakan sakit bisa dinyatakan
sehat (dengan gejala yang sama) beberapa tahun kemudian, atau sebaliknya.
Merupakan suatu
imlikasi lain dari interaksi simbolik , di mana dalam mempelajari interaksi
sosial yang ada perlu digunakan pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal
sebagai perspektif interaksional (Headariningrum : 2009)
Konsep definisi situasi
merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia
merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus) secara
langsung.
Dimana konstruksi
sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsikan
peristiwa dan membagi penafsira-penafsiran tersebut dengan orang lain , dan
realitas dibangun secara sosial melalui komunikasi (Littlejohn dan foss , 2005
: 308)
Dimana salah satu
aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran
(thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada
kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu
lainyaditengah interaksi sosial masyarakat.
Ertinya, Individu dalam
upaya belajar memahami diri ia mencoba berteory , sehingga pemikiran dia
tentang diri sebagai person (kemampuan memandang dan membawa semua sifat dan
bawaan – bawaan pribadi secara umum di dalam kelompok sosial dan
budaya)merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan – gagasa tentang
personhood (atau public dimana diri diekspresikan pada orang lain melalui
proses komunikasi ) (littlejhon dan foss, 2005:311)
Sindrom emosi ini
secara sosial dikonstruksi oleh cara-cara orang belajar berinteraksi hasil dari
apa yang dia ambil dari kelompok perilaku khusus untuk dia artikan dan dia
lakukan dalam menampilkan emosi khusus
Teori Dramatisme ini
merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik m dan tokoh
yang mengemukakan teori ini adalah Kenneth Burke. Teori ini memfokuskan pada
diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan symbol komunikasi.
Dari Ervin Goffman ,
Contoh : Penelitian Judy Peterson dan Shannoon Van Horn (2004) menemukan bahwa
teori interaksi simbolik membingkai perasaan orang dewasa yang lebih tua
mengenai identitas gender.
Banyak Orang
mendefinisikan naratif sebagai suatu gaya bercerita. Naratif juga berasal dari
kata narasi yaitu suatu cerita tentang peristiwa atau kejadian dengan adanya paragraph
narasi yang disusun dengan merangkaikan peristiwa – peristiwa berurutan atau
secara kronologis.
Pendekatan yang
dipelopori John Shotter ini menjelaskan bahwa salah satu cara orang –orang
mengkonstruksi realitas sosial melalui pembuatan laoran atau penjelasan dan
menjustifikasi perilaku mereka
Shotter menyumbangkan
pandangan konstruksionis yang lebih luas pada aspek tanggung jawab dan
moralitas subjek. Ia percaya bahwa pengalaman manusia tidak dapat dipisahkan
dari komunikasi. Pembicaraan kita dapat merefleksikan dan menciptakan realitas
pengalaman kita (Littlejohn, 1996:185).
Jallaludin Rakmat
(1999:126) menjelaskan bahwa dalam penelitian interaksionisme simbolik peneliti
biasanya melakukan tahapan berikut ini :
-
Observasi Partisipan
-
Wawancara Life History
-
Metode Histori
(analisis dokumen) yang unggul dalam arti metode-metode tersebut memungkinkan
peneliti memadukan antara symbol dan interaksi, mengambil peran yang diamati, memasuki
dunia sosial subjek penelitian, merekan berbagai situasi perilaku,
mengungkapkan perubahan dan proses, dan membuat konsep-konsep yang lebih
terarah.
Lindolf (1995:154-161) menguraikan
langkah observasi dalam penelitian Interaksionisme simbolik , yaitu : tentukan
siapa aktor yang akan diteliti; Bagaimana suasana yang dibangun (interior,
benda-benda atau objek-objek dalam situasi sosial); bagaimana interaksi awal
terjadinya; kapan dan dimana para aktor utama secara teratur berkumpul dan
berinteraksi, dan ada kejadian penting apa dalam komunikasi diantara aktor
tersebut.
Pada langkah Observasi partisipan Blumer
(Kuhn, 1964 dan kutz 1984)
Mengatakan
adalah cara agar peneliti dapat memahami makna-makna tindakan bersama dalam
suatu kehidupan sosial,(atau ini adalah salah satu cara melakukan permainan
peranan). Jadi, Interaksi simbolik secara khusus diasosiasikan dengan kajian
interpretif pada kehidupan komunitas atau kelompok secara dekat. Peneliti di
sini mencoba menggali “inside” kehidupan kelompok. (Lindof,1995 : 44)
CONTOH KASUS
Penjabaran Contoh Kasus :
Dalam Pembahasan mengengenai Interaksi Simbolik ,
contok kasus yang kami ambil adalah kasus yang menimpa Gubernur Sumatra Utara
yaitu Syamsul Arifin. Kasus yang kami ambil tersebut akan kami kaitkan
terhadap konsep diri dari interasi
simbolik. Konsep diri interaksi simbolik adalah konep “Me” dan “I” . “Me”
Sebagai penggambaran diri kita yang sebenarnya dan “I” adalah penggambaran diri
kita yang tidak sebenarnya yang dapat diubah sesuai dengan kondisi atau posisi
si Individu.
Dalam kasus tersebut dapat dilihat bagaimana
masyarakat pada saat itu melihat sosok Syamsul Arif sebagai sosok panutan
rakyat. Sosok yang dermawan, dengan karakter merakyat yang ia perlihatkan pada saat kampanye. Pada
Point 1, 2, dan 3 yang ada dalam wacana tersebut dapat kita lihat sebagai
cerminan Syamsul arifin yang ia perlihatkan terhadap masyarakat. Dalam konteks
Interaksi simbolik hal tersebut dapat kita lihat sebagai “I”.
Kemudian
dalam point 4 yang di jelaskan daram berita diatas , dapat di gambarkan bahwa
karakter yang di tunkukkan Syamsul pada saat kampanye merupakan hal bukan
merupakan karakter sebenarnya. Seperti pada headline berita Jpnn Online.
Berdasarkan berita tersebut kita menilai bahwa karakter ia yang merakyat hanya
sebuah symbol agar masyarakan Sumatra Utara mempercayai dan memilihnya sebagai
Gubernur Sumatra Utara, yang pada kenyataannya setelah ia terpilih, ia
tersangkut kasus Korupsi . Karakter kepemimpinannya setelah menjabat merupakan
Konsep “Me”
BAB
III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Ciri
khas dari interaksi simbolik : terletak pada penekanan manusia dalam proses
saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat
secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna
yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol,
interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling
memahami maksud dan tindakan masingmasing, untuk mencapai kesepakatan bersama
3 ide dasar dari
interaksi simbolik adalah :
a. Mind
(pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosialyang
sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain.
b. Self
(diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan
tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
c. Society
(masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan
oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat
dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep
yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya
makna bagi perilaku manusia
Tema
ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana
dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi,
karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi
secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna
yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai
berikut :
Manusia, bertindak, terhadap, manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lainkepada
mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi
melalui proses interpretif .
2. Pentingnya
konsep mengenai diri (self concept)Tema ini berfokus pada pengembangan konsep
diri melalui individu tersebut secara aktif,didasarkan pada interaksi sosial
dengan orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan
konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep dir imembentuk motif
yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The
particular kind of role thinking – imagining how we look to another person
” or ”ability to see our selves in the reflection of another glass”.
3. Hubungan
antara individu dengan masyarakat.
Tema
ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat,
dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada
akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial
kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai
keteraturan dan perubahan
dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan
kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial
dihasilkan melalui interaksi sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
- Pambayun,
Ellys Lestari . 2013. Qualitative Research Methodology In Communication.
Jakarta . Lentera Printing Jakarta
- M.A DR. Deddy
Mulyana . 2006 . Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung .PT Remaja
Rosdakarya Offset
- Semiawan,
Prof. Dr. Conny . 2010 . Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan
Keunggulan. Jakarta . PT Grasindo
http://www.jpnn.com/news/korupsi-apbd-gubernur-sumut-jadi-tahanan-kpk
No comments:
Post a Comment