Dalam kehidupan yang
sifatnya dinamis ini, manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah bisa
lepas dari individu-individu yang lain. Sehingga mereka akan selalu bersentuhan
dengan indvidu lainnya, dengan kelompok individu, bahkan antara kelompok
individu dengan kelompok individu yang lain, atau dalam dunia sosial lebih
dikenal dengan istilah Interaksi Sosial.
Interaksi sosial yang terbangun melahirkan gejala-gejala sosial (fakta sosial)
dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sosial hadir dengan tujuan untuk membangun
pemahaman atas setiap fakta sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Pemahaman
tersebut dapat ditempuh melalui pengamatan sosial. Pengamatan sosial tidak
hanya dilakukan dengan satu cara dan dari satu sudut pandang sosial saja,
sehinggan hal ini kemudian melahirkan banyak metodologi yang dapat dipergunakan
dalam melakukan pengamatan sosial. Diantara metodologi yang ada salah satunya
adalah Etnometodologi.
Pengamatan atas fakta
sosial yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial, dewasa ini masih terklasifikasi
dalam dua wilayah objek kajian, yakni pengamatan yang dititikberatkan pada
persoalan-persoalan makro, dan pengamatan yang tertuju pada persoalan-persoalan
mikro. Emile Durkheim misalnya adalah salah satu tokoh sosiologi yang
menempatkan pengamatannya pada persoalan makrososiologi (struktur sosial dan
pranata sosial). Durkheim berangkat dari pemahaman bahwa fakta sosial berada
diluar dan bersifat memaksa individu untuk mengikuti struktur dan peranata
sosial yang ada.
Kemudian adalah Max
Weber salah satu tokoh termasyhur dalam dunia sosiologi yang meletakkan
pengamatan pada wilayah mikrososiologi seperti Tindakan Sosial. Weber berangkat
dari pemahaman bahwa individulah yang membangun struktur sosial, sehingga
mengamati persoalan sosial tidak bisa langsung tertuju pada struktur sosial
(makrososiologi) yang ada namun harus diawali dengan mengamati tindakan sosial
individu (mikrososiologi).
Berbeda dengan kedua
tokoh ahli sosiologi diatas, Harold Garfinkel sebagai pencetus teori
Etnometodologi melihat fakta sosial sebagai sesuatu yang fundamental dalam
kehidupan sosial. Sehingga dalam penggunaannya Etnometodologi tidak terpaku
pada hal-hal yang sifatnya makro maupun mikro, namun memusatkan pengamatannya
pada interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, salah satunya
melalui pengamatan Etnometodologi atas percakapan sehari-sehari yang dilakukan
manusia.
Etnometodologi
meletakkan studi mengenai kegiatan manusia sehari-hari atas dasar common sense. Realitas common sense dan
eksisitensi sehari-hari manusia merupakan kepentingan
praktis dalam kehidupan sosial. kepentingan praktis kemudian dilawankan
dengan kepentingan ilmiah (teoritis).
Teori ilmiah membangun pemahaman atas realitas sosial melalui
penelitian yang sisitematis dan teoritis. Bagi Alferd Schutzs (tokoh sosial
yang mempengaruhi Garfinkel dalam melahirkan teori Etnometodologi) manusia
bergerak bukan berdasarkan teori ilmiah melainkan atas dasar common sense atau
kepentingan praktis. Pada wilayah inilah (kepentingan praktis) etnometodologi
hadir sebagai alat pengamatan pergerakan keseharian manusia untuk membangun
pemahaman utuh atas fakta sosial yang tengah tertebar di masyarakat.
Istilah
etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada
bahasa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah
kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang
sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia
dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari,
mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula. 1
Etnometodologi sendiri adalah suatu studi tentang praktek sosail keseharian
yang diterima secara taken for granted berdasarkan akal sehat (common sense).
Etnometodologi mulai berkembang di tahun 1950 dengan tokoh penggagasnya adalah
Harold Garfinkel. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di West Coast. Akan
tetapi baru dikenal oleh kalangan luas (oleh profesi-profesi lain) pada akhir
1960-an dan awal 1970-an ( Poloma : 1994 : 281).
Garfinkel memunculkan etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuannya
terhadap pendekatan-pendekatan sosiologi konvensional yang dianggapnya
mengekang kebebasan peneliti. Penelitian konvesional selalu dilengkapi asumsi,
teori, proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam
memahami kenyataan sosial menurut situasi di mana kenyataan sosial tersebut
berlangsung. 2
Garfinkel sendiri medefenisikan etnometodologi sebagai penyelidikan atas
ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai
kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan
sehari-hari yang terorganisir. Etnometodologi Grafinkel ditujukan untuk
meneliti aturan interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat. Apa
yang dimaksudkan dengan dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima
begitu saja, asumsi-asumsi yang berada di baliknya dan arti yang dimengerti
bersama. Inti dari etnometologi Granfikel adalah mengungkapkan dunia akal sehat
dari kehidupan sehari-hari (Furchan, 1992 : 39-41).2
Dalam
prakteknya, etnometodogi Grafinkel menekankan pada kekuatan pengamatan atau
pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran
digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Di sana
Grafinkel mengamati setiap pembeli yang keluar dan masuk di toko tersebut serta
mendengar apa yang dipercakapkan orang-orang tersebut. Seementata untuk
eksperimen (simulasi), Grafinkel melakukan beberapa latihan pada beberapa
orang. Latihan ini terdiri dari beberapa sifat, yaitu responsif, provokatif dan
subersif. Pada latihan responsif yang ingin diungkap adalah bagaimana seseorang
menanggapi apa yang pernah dialaminya. Pada latihan provokatif yang ingin
diungkap adalah reaksi orang terhadap suatu situasi atau bahasa. Sementara
latihan subersif menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa
dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. 2
Pada latihan subersif, seseorang diminta untuk bertindak secara berlainan
dari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Latihan pertama
(responsif) adalah meminta orang-orang tersebut menuliskan apa yang pernah
mereka dengar dari para familinya lalu membuat tanggapannya.
Latihan kedua (provokatif) dilakukan
dengan meminta orang-orang bercakap-cakap dengan lawannya dan memperhatikan
setiap reaksi yang diberikan oleh lawan mereka tersebut. Sementara latihan
ketiga (suberrsif) adalah menyuruh mahasiswanya untuk tinggal di rumah mereka
masing-masing dengan berprilaku sebagai seorang indekos. Lewat latihan-latihan
ini orang menjadi sadar akan kejadian sehari-hari yang tidak pernah
disadarinya. Latihan ini adalah strategi dari Grafinkel untuk mengungkapkan
dunia akan sehat, sebuah dunia yang dihidupi oleh masing-masing orang tanpa
pernah mempertanyakan mengapa hal tersebut harus terjadi sedemikian.
Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang mengembangkan studi
etnometodologi di antaranya Jack Douglas, Egon Bittner, Aaron Cicourel, Roy
Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder. 2
Di antara para pakar ini Jack
Douglaslah yang paling lengkap pembahasan etnometodologinya. Douglas
menggunakan etnometodologi untuk menyelidiki proses yang digunakan para koroner
(pegawai yang memeriksa sebab-musabab kematian seseorang untuk menentukan suatu
kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas
mencatat bahwa untuk menentukan hal itu , koroner
harus menggunakan pengertian akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap
orang tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur
kesengajaan ( Furchan, 1992 : 39).2
Di sini seorang koroner mengumpulkan
bukti-bukti berupa peritiwa hidup (hari-hari terakhir) dari seseorang yang mati
tersebut mengenai apakah ia mengalami peristiwa yang memungkinkan ia bunuh diri
atau tidak. Jika ia tidak menemukan bukti-buktinya maka ia akan menyimpulkan
bahwa kematian tersebut bukanlah suatu tindakan bunuh diri, pada hal mungkin
saja ia telah melakukan bunuh diri. Atau sebaliknya, jika ia menemukan bukti
maka ia akan menyimpulkan bahwa kematian tersebut adalah suatu tindakan bunuh
diri pada hal belum tentu seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
Pendekatan ini sangat berbeda dengan
apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim tentang bunuh diri (suicide) yang
dilakukannya dengan pendekatan statistikal. Di sini tampaklah bahwa
etnometodologi adalah suatu studi atas realitas kehidupan manusia atau
masyarakat yang secara radikal menolak pendekatan-pendekatan sosiologi
konvensional sebagaimana yang telah disentil di bagian pengantar di atas. 2
(Boglan & Biklen, 1998:30) Mendefinisikan
etnometodologi sebagai studi tentang bagaimana orang-orang menciptakan dan
memahami kehidupan sehari–hari mereka dan cara mereka menyelesaikan kehidupa
sehari-hari. Subjek bagi etnometodologi bukan warga suku primitive. Mereka
adalah orang-orang dari berbagai situasi di dalam masyarakat kita sendiri.3
Mehan and Wood dalam Neuman (1997:346-347)
medefinisikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, suatu metode, suatu
teori, suatu pandangan dunia, dan pandangan kehidupan. Etnometodologi berusaha
memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi, artinya berbeda
banyak dari sosiologi dan juga psikologi. Secara sederhana, etnometodologi
memiliki batasan sebagai kajian akal sehat, artinya merupakan hasil dari suatu
observasi penciptaan yang digunakan terus menerus dalam interaksi sosial dengan
lingkungan yang sewajarnya.3
Heritage (dalam George Ritzer 1996:235) menyatakan
bahwa etnometodologi dapat didefinisikan sebagai kajian mengenai pengetahuan,
aneka ragam prosedur dan
pertimbangan
yang dapat dimengerti, oleh anggota masyarakat biasa, mereka bisa mencari jalan
dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan dirinya sendiri.
Secara terminologi, Etnometodologi diterjemahkan sebagai sebuah metode
pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek kebutuhan,
diantaranya: pencerahan dan emberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode yang
digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk
padapermasalahan apa yang akan diteliti. Hal inisebagaimana yang dipaparkan
oleh Harold Garfinkel, bahwa istilah etnometodologi dijumpainya ketika ia
mempelajari arsip lintas budaya di Yale yang
memuat kata-kata seperti etnobotani, etnofisika, etnomusik, dan etnoastronomi.
Itu mempunyai arti bagaimana para warga suatu kelompok tertentu (biasanya
kelompok suku yng terdapat di arsip Yale)
memahami, menggunakan, dan menata segi-segi lingkungan mereka. Dalam hal
etnobotani, subjek atau pokok kajian adalah tanaman. Jadi, etnometodologi
adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan dan memahami kehiduan
sehari-hari, metodenya untuk mencapai kehidupan sehari-hari.3
Muhadjir (2000:129-130) menyatakan bahwa
etnometodologi berupaya untukmemahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan,
dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri.
Istilah
etnometodologi berkaitan dengan konsepsi teoretik fenomena sosial.
Etnometodologi mengacu pada kegiatan ilmiah yang menganalisis metode. ataupun
prosedur-prosedur yang digunakan manusia untuk menuntun mereka dalam berbagai
kegiatan kehidupan kesehariannya. Dengan demikian etnometodologi dapat
didefinisikan sebagai ilmu etnometode, prosedur-rosedur yang disebut Garfinkel
sebagai “penalaran sosiologi praktis”. (Coulon, 2004:x-xi). 4
Jelasnya,
etnometodologi adalah kajian tentang kegiatan manisia sehari-hari, khususnya
aspek-aspek interaksi sosial yang diambil begitu saja. Garfinke secara
sederhana membatasi etnometodologi sebagai penyelidikan atas ungkapan-ungkapan indeksikal (bahasa dan makna) dan tindakan-tindakan praktis lainna sebagai
kesatuan pemecahan masalah yang (sedang) dilakukan dari praktik-praktik
kehidupan sehari-hari yang terorganisasi.
Pendekatan
ysng termasuk dapat menjelaskan pertanggung jawaban tindakan praktis yang
nasional ini ialah:
a) Perbedaan
antara ungkapan yang objektif dan yang indeksikal bersumber dari bahasa dan
makna yang dikaitkan pada simbol-simbol signifikan)
b) Refleksivitas
berbagai tindakan praktis, dan
c) Kemampuan
menganalisis tindakan tersebut dalam konteks sehari-hari. (Poloma 2003:281)
Jadi
yang menjadi masalah bagi para ahli etnometodologi adalah bagaimana (dengan
metode apa) orang menangkap dunia mereka sehari-hari. Atau, dengan cara
bagaimanakah orang menerima aturan atau pola-pola realitas mereka ? 4
Penelitian
etnometodologi memiliki beberapa tujuan utama yang harus dipahami peneliti,
antara lain :
1. Penelitian
atau kajian etnometodologi adalah untuk mempelajari bagaimana anggots
masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat sense of indexical expression (pengungkapan istilah-istilah). Arti indexical tidak bermakna universal namun
bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka) Sifatnya terbatas pada yang
diindeks atau dirujuk. Subjek etnometodologi bukanlah anggota-anggota suku
terasing, melainkan orang-orang dalam berbagai macam situasi dalam masyarakat
kita (kantor, cafe, organisasi, klub, institusi, komunitas, dan sebagainya).
2. Pelitian
etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, mengerti
menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia sehari-hari di tempat mereka
hidup. Untuk peneitian ditujukan untuk dapat mengerti, mengubah dan menampilkan
kenyataan baru berdasarkan lingkungan harian yang di inginkan dari objek
penelitian (orangkelompok yang diteliti). Selain itu, untuk memberi kesadaran
kepada orang-orang bahwa mereka hidup di dunia yang telah lama mereka diami,
tapi mereka tidak pernah mempertanyakan mengapa mereka harus berada di dunia,
karena ketidaksadaran mereka.
3.
Pemanfaatan metode ini
lebih dilatari oleh pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh
kemanfaatan logika formal (formal logic).
4. Hasil
penelitian Ritzer etnometodologi dapat berupa program atau prinsip perubahan
dan pembauran. 4
Philip
Jones (1985:75) mengungkapkan tiga asumsi dalam kajian etnometodoogi:
1.
Kehidupan sosial
sifatnya rentan (apapun bisa terjadi dalam interaksi sosial)
2.
Para aktor tidak pernah
menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan praktis
3.
Kemampuan praktis ini
penting untuk membuat dunia tampak seperti yang para aktor inginkan. 4
Dalam
penggunaan metode etnometodologi dijumpai beberapa kelebihan dibandingkan metode lainnya di antaranya5
1. Longitudinal
sebagai suatu metode observasi yang sedang berlangsung. Etnometodologi dapat
merekam perubahan-perubahan peristiwa yang terjadi dan tidak harus menyandarkan
diri pada ingatan partisipan seperti rekaman daam penelitian survey cross sectional.
2. Baik
perilaku nonverbal maupun verbal, keduanya dipelajari oeh etnometodologi.
3. Etnometodoogi
memberikan suatu pemahaman tentang bagaimana narasumber berada dalam keadaan
menyadari sesuatu atau merasa benar-benar dalam keadaan sadar dan mengerti
terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana mereka menjawabnya. Penelitian
ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi peneliti dalam menganalisis ‘tidak
ada respons’ seperti sering dialami oleh penelitian survey. 5
4. Etnometodologi
memberikan satu pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang
didapat lewat koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehat. 5
Sedangkan
kelemahan penelitian etnmetodologi diantaranya:
1.
Produk : Etnometodologi
tidak bisa menjadi satu pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari
produk-produk sosial. Misalnya, etnometodologi tidak selalu
sesuai untuk meneliti
masalah etnis, namun etnometodologi bisa digunakannya untuk memelajari proses
terjadinya atau sumber sikap tersebu
2.
Studi dalam skala luas:
Sikap masyarakat dalam skala luas lebih cocok diteliti dengan menggunakan
metode survey dibanding dengan etnometodologi. Disamping itu, memang sikap
adalah produk yang hanya baik jika diteliti dengan menggunakan metode
penelitian survei, atau metode lain bukan oeh etnometodologi.5
Menurut Denzin and Lincoln Sebagai metode
penelitian, etnometodologi memang memiliki kekuatan yang otonom terutama untuk
mengupas berbagai masalah sosial, seperti masaah komunikasi. Etnometodologi
merupakan kelompok metode dalam ranah penelitian kualitatif yang memusatkan
kajiannya pada realitas yang memiliki pemaknaan pada perilaku nyata.6
Perkembangan penelitian dalam ilmu komunikasi dengan
pendekatan etnometodologi ini memiliki ragam yang berbeda, karena subyek matterinya
adalah aneka jenistema dan konteks lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu
komunikasi.
Berbagai variasi dalam penelitian etnometodologi
dijelaskan Maynard dan Clayman (dalam George Ritzer 1996:337), (yang
disesuaikan dengan kajian komunikasi) :
a) Studi
etnometodologi yang berlatar belakang Analisis Institusional (Studies of Institutional
Setting). Semula studi etnometodologi difokuskan dalam setting institutional
yang lebih luas, seperti di pengadilan, rumah sakit dan kantor polisi.
b) Tujuan
dari studi semacam ini adalah untuk memahami cara masyarakat dalam setting
tersebut dalam melakukan tugas-tugas resminya selama proses pembentukan
institusi. Penelitian komunikasi dalam melihat setting kelembagaan semacam ini
menitik beratkan pada struktur, aturan-aturan formal, dan prosedur resmi untuk
kemudian diterangkan secara jelas apa yang masyarakat komunikasikan dalam
lingkungan mereka.
c) Studi
etnometodologi yang menaruh perhatian pada Analisis Percakapan (Conversation
Analysis). Analisis percakapan dianggap sebagai program yang penting dan paling
sempurna dari etnometodologi. Praktik ini dibangun oleh Harvey Sack, di
pertengahan taun 60-an dengan menjadikan percakapan adalah suatu penelitian
tentang struktur dan ciri khas formal bahasa yang dilihat dalampenggunaannya
dari sisi sosial.6
Zimmerman
(1988) menyatakan bahwa tujuan dari analisis percakapan adalah untuk memahami
secara mendetail struktur fundamental dari interaksi percakapan dimana
terangkum dalam lima premis, yaitu:
a) Analisis
percakapan mensyaratkan adanya kumpulan dan analisis data yang mendetail. Data
ini meliputi tidak hanya kata-kata tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu
sedan, gelak tawa, perilaku non verbal, dan berbagai aktivitas lain. Semua itu
menggambarkan perilaku atau percakapan aktor yang terlibat.
b) Detail
percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak
diatur oleh etnometodologi, aspek tadi diatur oleh aktivitas metodis dari para
aktor itu sendiri.
c) Interaksi
pada umumnya dan percakapan pada khususnya mempunyai sifat-sifat yang stabil dan
teratur hingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.
d) Landasan
fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sekuensial.
e) Keterkaitan
bidang interaksi percakapan diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
(George Ritzer 19992:397).
6Penelitian
Etnometodologi ini terdiri dari beberapa
startegi yang dapat di terapkan peneliti, yaitu responsive, provokatif,
Subersif.
a) Pada strategi
responsive yang ingin diungkap adalah bagaimana
seseorang menanggapi apa yang pernah di alaminya. Peneliti meminta seorang kiai
menuliskan apa yang pernah ia dengar dari para santrinya lalu membuat
tanggapannnya.
b) Pada strategi
provokatif yang ingin diungkap adalah reaksi orang
terhadap situasi atau bahasa. Peneliti meminta seorang pemimpin bercakap-cakap
dengan karyawannya dan memerhatikan setiap reaksinya yang diberikan oleh
karyawannya tersebut (conversation analysis).
c) Strategi subversif,
menenkankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh
seseorang dalam kehidupan sehari – harinya. Pada latihan subversif, seseorang
diminta untuk bertindak secara berlainan dari apa yang seharusnya dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti meminta seorang dosen untuk mengajar
dikelas layaknya dirumah sendiri. 6
6Data
dari peneliti etnometodologi bukan hanya “orang” atau “people” sebagai
kediriannya yang tunggal namun sebagai anggota atau bagian dari sebuah struktur
iuran yang lebih luas entah itu masyarakat atau bentuk yang lain. Sehingga
wawancara bukan hanya untuk mengetahui jawaban – jawaban terhadap pertanyaan
namun aturan struktur yang membuat individu (orang) tersebut memproduksi
tindakan-tindakan atau jawaban tersebut.
Wawancara
sebenernya cukup krusial sebagai cara memperoleh informasi. Asumsi dari metode
wawancara adalah narasumber akan jujur menjawab pertanyaan dan menceritakan
motif dibalik setiap tindakannya. Namun, Erving Goffman lewat konsep
dramaturginya telah mengingatkan kita bahwa individu seperti layaknya Para
actor di panggung sandiwara. Apa yang sesungguhnya terjadi pada individu
tersebut. Etnometodologi mencoba mengisi dilema tersebut dengan menitikberatkan
bahwa poin penting dari wawancara bukan hanya dari jawaban terhadap pertanyaan
namun “nuansa” ketika proses wawancara itu berlangsung.
Secara
umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif
melalui wawancara Etnometodologi :
a) Wawancara Informal,
yakni proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya
pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara
demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipasif.
Dalam situasi demikian, orang-orang yang diajak berbicara
mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang
diwawancarai secara sistematis untuk menggali data.
b) Wawancara dengan
pedoman umum, yakni dalam proses wawancara ini,
peneliti dilengkapi pedoman wawancara (interview guide) yang sangat umum, yang
mencatumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan,
bahkan tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk
mengingatkan peneliti mengenai aspek –aspek yang harus dibahas, sekaligus
menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek –aspek relevan tersebut telah
di bahas atau di tanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan
bagaiman pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkret dalam kalimat
atanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks actual saat wawancara
berlangsung. Wawancara dengan pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara
terfoku, yakni wawancara yang mengarahkan pembicaraan pada hal-hal atau
aspek-aspek tertentu dari kehidupan atau pengalaman subjek. Tapi, wawancara
juga dapat berbentuk wawancara mendalam (indepth interview) dimana peneliti
mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan
mendalam.
c) Wawancara dengan
pedoman berstandar yang terbuka
yakni pedoman wawancara di tulis secara rinci dan lengkap dengan set pertanyaan
dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti diharapakan dapat melaksanakan
wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakan dengan cara yang
sama pada narasumber yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami jawaban terbatas,
tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti. Bentuk ini akan
efektif dilakukan bila peneliti melibatkan banyak pewawancara, sehingga
peneliti perlu mengadministrasikan upaya-upaya tertentu untuk meminimalkan
variasi sekaligus mengambil langkah – langkah menyeragmkan pendekatan terhadap
narasumber. (patton,1990).
Etnometodologi memiliki
beberapa prinsip yang dapat diterapkan para peneliti :
a) Terjadinya
prinsip reciprocal (saling berbalas) dalam rangka menyetarakan pengertian
antara peneliti dan actor social yang terlibat, sehingga dapat dikatakan “bahwa
kebeneran yang dianut seseorang adalah kebenaran yang dianut juga oleh orang
lain.”
b) Harus
ada objektivitas dan ketidakraguan dari apa yang tampak, misalnya dunia atau
lingkungan atau kenyataan merupakan suatu yang benar-benar terjadi; dan bila
terjadi keraguan terhadap kenyataan tersebut, maka objektivitas layak di
ragukan
c) Adanya
proses yang sama dalam arti jika sesuatu peristiwa terjadi di suatu tempat dan
waktu, maka peristiwa tersebut akan dapat terjadi juga ditempat dan waktu lain
d) Adanya
proses indexicality, yaitu ‘daftar istilah’ masyarakat memiliki perbendaharaan
bahasa, pemakanaan dan pengetahuan local yang telah diketahui sebelumnya dan
dapat mengacu kepada indeks lain yang juga telah ada. Peneliti harus memahami
proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan lebih luas.
e) Adanya
proses reflectifity, (McQuarie,1995) sebagai ‘gambaran tentang arti’ atau suatu
interprestasi terhadap situasi yang terdapat secara umum sehingga tidak perlu
didefinisikan. Untuk mengatakn seseorang itu ‘bersalah’ atau ‘lugu’, maka harus
di turunkan dari pengertian umum ke pengertian khusus mengenai apa yang
dimaksud. Namun sesungguhnya peneliti tidak pernah melihat kebenaran itu,
kecuali hanya melihat tentang kebenaran tersebut atau berkenaan dengan
kebenaran tersebut.
Untuk
mendapatkan kebenaran, peneliti seharusnya tidak diperjkenalakan sampai
‘memaksa’ masyarakat. Adanya jeda yang harus di perhitungkan, misalnya ketika
actor social merasa ‘lelah’ atau menunjukan ekspresi emosi. Oleh sebab
narasumber untuk mendapatkan pembuktian yang jelas. Ungkapan permintaan maaf
peneliti adalah suatu keputusan yang bijak. Peniliti harus mengerti semua itu
apa adanya, dan tidak memaksa untuk mendapatkan informasi yang jelas yang
justru dapat menimbulkan akibat tidak validnya data.
Praktik
Etnometodologi dengan masyarakat sebagai bidang kajian memiliki implikasi yang
bersumber dsn keterbatasan sifat manusia itu sendiri, seperti :
a) Perihal
eksternal masyarakat, jika tidak ada pertanyaan mengeni realitas yang di bentuk
bersama, maka sebenarnya masyarakat dibentuk bersama melaui emosi
b) Keterbatasan
pengetahuan tentang manusia akan meninmbulkan tindakan atau pemikiran yang
dapat mengurangi kesulitan yang berkaitan dengan indexicality (daftar istilah)
atau reflectivity (gambaran tentang arti). Akibatnya kenyataan selalu
diasumsikan dalam keadaan normal
c) Masalah
kelemahan atau keterbatasan pengetahuan manusia dapat diatasi dengan tindakan
pemilihan yang rasional, pertukaran, interaksi simbolik dan sebagainya. Oleh
karena itu etnometodologi merupakan kritik yang cukup tajam dalam ilmu
pengetahuan. Disini, tindakn di lakukan merupakan pemikiran yang didasarkan
pada pengetahuan ‘terbatas’ itu . (salim,2006).
Alain
coulon (2008:31) mengemukakakan beberapa konsep kunci dari pendekatan
etnometodologi, sabagai berikut :
a. Indeksikalitas,
menurut pendekatan etnometodologi merupakan istilah teknis yang sering di
gunakan dalam ilmu bahasa, khususunya bahasa awam ( bahasa pasar) yang biasa
digunakan dalm suatu analisis objek –objek sosiologi. Jadi yang dianalisis
bahasa “alamiah”, dan bukan bahasa “ilmiah”. Fuady (2011:314) mengatakan bahwa
bahasa alamiah adalah bahasa pasar atau bahasa umum yang biasa digunakan banyak
orang di tempat tempat umum, bahasa
melalui telepon atau memlalui sms, bahasa yang memberi isyarat perintah, bahasa
proses belajar mengajar dan bahasa wawancara. Beberapa contoh penggunaan bahasa
alamiah yang sering digunakan sehari-hari anatara lain:
a) Bahasa
umum, contoh : “Insya allah hari ini encananya mereka akan meliputi berita
itu.”
b) Bahasa
melalui telepon. Contoh, “alhamdulilah, jadi dummy iklan itu sudah siap? Tolong
anda segera kirimkan pada saya, ya. Saya tunggu!’
c) Bahasa
sms contoh, “Assalamualaikum, jadikah kita bertemu besok di kantor?”
d) Bahasa
yang memberi isyarat perintah, “Demi keaikan dunia akhirat kita,saya minta
semua yang hadir disini bisa meliput berita dengan tulus da dilandasi asas
kebenaran bukan kebohongan”.
e) Bahasa
proses belajar mengajar. Contoh “untuk menjadi seorang public realtions officer
itu, selain di tuntut keahlian secara praktis da kemampuan teoretis juga
memiliki kecerdasan emosional dan spiritual”.
f) Bahasa
wawancara contoh,”apakah anda siap menjadi wartawan yang sepenuhnya memihak
kepentingan masyarakat?”
Bahasa alamiah ini,konsepnya tidak lengkap, sehingga
tidak tergambar secara utuh dari apa yang hendak diungkapkan oleh si penutur
kata atau si penulis bahasa. Karena itu, dalam konsep bahasa muncul konsep
indeksibilitas, yang dengan sebuah kata atau fraksa kata akan tersimpul makna
tertentu di mana harus diramu sendiri oleh si pembaca atau si pendengar. Kata-kata “ dan sabagainya” atau
“dan lain-lain”, pembaca atau pendengar harus mearmu sendiri kemana kata ini
bermakna secara kontekstual. Karenanya pendekatan dengan cara ini hasilnya akan
subjektif dan sulit dikatakan objektif. Kata-kata yang bersifat indeksibilitas
lainnya, misalnya mereka, anda berbaga,
kalian,ini, itu, kita dan tersebut.
a) Bila
dia analis contoh –contoh kalimat yang belum lengkap di atas maka kita akan
coba untuk lebih memperjelas maksudnya, sebgai berikut : Bahasa umum. Contoh, “Insya Allah hari ini
rencananya mereka akan meliput berita itu”.Pertanyaaan yang kan lahir, mereka
itu siapa aja?, berita apa? Hari ini itu kapan tepatnya?
b) Bahasa
melalui telepon, contoh, “Alhamdulillah, jadi dummy iklan itu sudah siap?
Tolong anda segera kirimkan pada saya, ya. Saya tunggu” pertanyaan yang muncul:
anda itu siapa ? tunggu dimana ?
c) Bahasa
sms. Contoh, “Assalamualaikum Bu, jadikah kita turun kelapangan besok ?
pertanyaan yang muncul: kita itu siapa ?
d) bahasa
yang memberi isyarat perintah, contoh, “Demi kebaikan dunia akhirat kita, saya
minta semua yang hadir disini bisa meliput berita dengan tulus dan dilandasi
kebenaran bukan kebohongan”. Pertanyaan yang muncul: semua yang hadir itu
siapa? Saya itu siapa ? berita apa ?
e) Bahasa
proses belajar mengajar, contoh,”untuk menjadi seorang public relations officer
itu, selain dituntut keahlian secara praktis dan kemampuan teoritis juga
memiliki kecerdasan emosional dan spiritual”. Pertanyaan yang muncul: itu apa
?, keahlian praktis apa saja ? kemampuan teoritis apa saja ?
f) Bahasa
wawancara , contoh, “apakah anda siap menjadi wartawan yang sepenuhnya memihak
kepentingan masyarakat kita ?”. pertanyaan yang muncul : anda itu siapa ?
wartawan apa ? kita siapa ?
semua kalimat tersebut diatas masih memerlukan
uraian lebih lanjut, tanpa kalimat itu dirimu dengan baik, seseorang tidak akan
menemukan kejelasan secara tepat maksud kalimat tersebut. Penganut paham
etnometodologi, bahkan berkesimpulan bahwa hakikat Indeksitas tersebut juga
berada pada bahasa tubuh, dalam bentuk symbol-simbol, dan gerakan-gerakan dalam
berbagai aktivitas manusia, yang sesungguhnya tidak dapat di reduksi menjadi pemaknaan
yang objektif. Misalnya, seorang pimpinan dalam berkomunikasi dengan anak
buahnya atau dengan mitra kerjanya yang tidak responsi, kurang terbuka, atau
hanya mengangguk-anggukan kepala dan senyum-senyumserta enggan mengeluarkan
pernyataan setuju atau tidak, maka orang yang berkepentingan harus dapat
menggunakan bahasa tubuh. Tanpa memahami bahasa tubuh maka orang tersebut akan
mengalami kesulitan memahami sesuatu. Contoh lain, ketika seseorang menelepon orang lain atau men-sms lewat
handphone, tapi orang yang di telepon itu tidak mengangkat handphonenya atau
tidak memberikan jawaban melalui sms, padahal apa yang disampaikan itu ada
tertera dan tercantum dalam memori handphone, maka itu berarti apa yang di
harapkan oleh seseorang itu tidak di respon atau tidak disetujui oleh yang
bersangkutan. Orang yang memahamiteori etnometodologi ini, pasti dapat
mengambil kesimpulan dan sikap bahwa yang bersangkutan tidak setuju apa yang di
harapkannya, teori etnometodologi ini sangat berguna dalam proses komunikasi,
terutama dalam hubungannya dengan upaya seseorang untuk mencapai atau
mendapatkan sesuatu dari orang lain.
b. Istilah refleksivitas,
dimaksudkan sebagai suatu reaksi dari anggota masyarakat, terhadap suatu aturan
disebuah komunitas tertentu (instansi). Misalnya, dalam pemberlakuan etika
profesi, khususnya di dunia jurnalistik, dunia periklanan yaitu tata krama
periklanan, dan etika di masyarakat yang bisa berimplikasi pada profesi atau
perusahaan seperti etika internet sebagai teknologi informasi public (KIP).
Ketika etika profesi tersebut mengatur sanksi dan hukum bagi para awaknya yang
melanggar salah satu pasal dalam kode etik jurnalistik. Begitu pula bagi yang
bergelut dalam bidang periklanan akan mendapat sangsi dan hukuman bila
iklan-iklannya menyinggung pihak lain, mengandung pornografis, memasang iklan
dengan model yang sudah meniggal atau dipenjara, dan sebagainya. Ia akan
terkena pasal-pasal dalam tata krama periklanan dengan sanksi denda atau
hukuman sesuai dengan perbuatannya. Sedangkan yang bergerak di dunia internet
pelanggaran terjadi bila dengan sengaja menyebarkan berita bohong, memuat
pornografi, memfitnah atau menghasut pihak tertentu, dan sebagainya.
Sebagai tindakan refleksivitas, semua aturan profesi
ini menjadikan para awak media, periklanan, dan internet semakin ketat dan
hati-hati dalam memasang berita,iklan, dan pemuatan fitur atau teks internet.
Karena itu, tampak di beberapa Koran ibu kota yang telah mapan dan stasiun tv
terkenal di Indonesia pemuatan berita-berita dan iklan-iklan mereka di upayakan
untuk mengikuti kaidah-kaidah yang terdapat dalam kode etik bidang mereka
masing-masing. Misalnya, disunia berita seseorang jurnalis selalu berusaha
melakukan check and recheck atau cover both side sebelum memuat berita kepada
narasumber, menuangkannya dalam penggunanan bahasa yang sesuai kaidah bahasa
Indonesia yang benar dan jelas, objektif dan tidak memihak , mengedepankan
prinsip-prinsip integritas social bukan memecah belah dan sebagainya.
Jadi menurut kaum etnometodologi, refleksivitas itu
merupakan salah satu inti dan kondisi utama yang harus diamati, karena hal itu
sudah merupakan sifat khas dari suatu kegiatan social. Didalamsistem media dan
periklanan atau internet yang masih permisif atau memberlakuan sikap yang
longgar terhadap para awak media atau bawahannya, tentu saja akan membuahkan
pelanggaran dan penyimpangan tindakan pada etika profesi yang seharusnya
disepakati bersama secara konsekwen dan bertanggung jawab. Akibat lainnya,
secara perlahannamun pasti akan terbentuk sikap pelaziman ( conditioning)
terhadap pelanggaran pada aturan-aturan
yang berlaku. Karena itu, tujuan dari kode etik – kode etik yang di buat dalam
menciptakan insan media yang idealis dan bermoral tidak dapat tercapai dengan
baik. bahkan, insan media yang menganggap kode etik hanya menjadi batu
sandungan dalam berekspresi dan kebebasan bekarya. Akhirnya telah banyak
wartawan, pekerja iklan dan pekerja internet harus menjelani proses hokum
bahkandi pecat dari profesinya.
Karena hanya sebgian kecil media yang benar-benar
menjalankan profesi dan kerjanya sesuai dengan kode etik, sehingga menimbulkan
gejolak sosial dikalangan baik dari kalnagan insan media lainnya maupun
masyarakat sebagai pengkonsumsi media
yang diinginkan oleh pihak-pihak yang mereka anggap tidak professional dan
tidak bertanggung jawab. Seringkali segelintir orang yang bertindak tidak paruh terhadap aturan,pihak lain
terkena imbasnya, indah efek domino. Gejolak ssosial ini terjadi karena muncul
dari reflektivitas, akibat adanya ketidaksetujuan atau tidak ketidakberpihakan
kepada para pelanggar kode etik profesi.
c. Akuntabilitas,
sebagaimana diketahui bahwa penelitian yang bersifat etnometodologi berusaha menyelidiki dan menganaisis
aktivitas sehari-hari dari anggota, kegiatan mana dapat di nalar (rasional)
oleh masyarakat dan dapat dijelaskan dengan penuh tanggung jawab
(accountabilitas). Prinsip akuntabilitas itu sendiri memiliki unsur reflektif
dan rasional.
Selanjutnya
suatu akuntabilitas mengandung makna, memiliki unsur pemberi informasi dan
pembuat struktur, sehingga dengan sosial dianggap diakuntable, karena dalam
bentuk-bentuk kegiatan praktek dari
seorang actor. K arena itu menurut kaum etnometodologi. Dunia ini terbentuk
tidak seklai jadi, melainkan melalui suat u proses yang terus menerus yang
direalisasikan melalui praktek-praktek yang dilakukan, misalnya dalam PNPM-
Mandiri ( Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) disetiap wilayah yang
diwakilinya memiliki manajemen yang disebut KMW (Kordinator Manajemen Wilayah)
dimana dari setiap laporan finansialnya dituntut dapat transparan, baik kepada
staf maupun masyarakat. Maklum anggaran atau pembiayaan seluruh program
pemeberdayaan ini diperoleh dari bank dunia yang sepenuhnya wajib di pergunakan
bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk laporan keuangan ini, seluruhb anggota
manajemen mulai dari team leader, tenaga ahli, coordinator kota/desa, asisten
dan fasilitator bekerja maksimal untuk laporan yang benar, akurat dan dapat
dipercaya agar manajemen meraih kepercayaan (accountability) dari pemberi
proyek (PT.Karya milik PUI dan masyarakat yang di berdayakan untuk benar-benar
meraih akuntabilitas ini, manajemen wilayah mempercayakan analisis dan
pemeriksaan keuangan kepada para akuntan public, artinya akuntan yang berasal
dari luar perusahaan yang berasal dari suatu
biro konsultasi keuangan
terpercaya upaya ini di tunjukan agar tercapai akuntabilitas yang di harapkan
semua pihak.
d. kemudian
dengan konsep “member” yang
dimaksukan oleh kaum etnometodologi berbeda dengan konsep “member” dari paham
fungsionalisme Talcott person. Manurut Talcott person member berarti
keanggotaan sesorang dalam suatu masyarakat kolektif yang terorganisasi. Jadi
bersifat collectivity membership. Adapun menurut kaum etnometodologi, konsep
member yang bersifat lebih bersifat linguistic, yakni berasal dari penggunaan
bahasa alamiah, sehingga masing-masing member terlibat dalam percanangan sebuah hasil yang di barengi dengan
pengetahuan bersama melalui suatu interaksi sosial. Sehingga bagi kaum
etnometodologi member berarti bukan anggota kolektif, tetapi merupakan “orang”
atau “individu” yang sama-sama berkumpul
(tanpa kehilangan indenpendensinya)
untuk berada dalam suatu dunia dan menata dunia tersebut. Sebagai contoh, di
etiap perusahaan swasta ini diberlakukan program CSR (Corporate social responsibility), Tidak
terkecuali di PT.Berau Coal yang mengembangkan carrying society sebagai wujud
salah satu investasi social dilingkungannya. Komitmen perusahaan
berskalainternasional ini tidak saja terbatas di pandu oleh pihak manajemen,
tapi juga terbangun dilingkungan karyawan perusahaan yang didasari motto to be
usefull to mainkind ir. Enhaching their quality of life. Untuk
mengimplementasikan motto tersebut pada 20 April 2000 perusahaan membangun
Yayasan Dharma Bhakti Berau Coal (YCBBC) untuk mengelola keuangan community
development. Yayasan ini memiliki empat pilar kegiatan pemberdayaan, yaitu :
pendidikan dan pengetahuan, kesehatan
dan Nutrisi, pelestarian lingkungan dan budaya, peningkatan kualitas ekonomi
masyarakat. Kepedulian sosial perusahaan tidak sebatas pada pemahaman investasi
sosial pada tubuh manajemen semata, namun benar-benar mereflesikan
kepedulian
perusahaan untuk maju bersama masyarakat setempat dalam membangun daerah semua
pimpinan dan karyawan di perusahaan PT. Berau Coal sudah tentu adalah member
dari perusahaan tersebut (collectivity membership), sedangkan masyarakat, mulai
dari RW dan RT setempat sampai masyarakat biasa dapat dikatakan member alamiah
yang menjadi pusat analisis dalam pendekatan etnometodologi.6
e.
Terakhir
istilah “kategorisasi anggota”, artinya
pengkategorian dalam masyarakat terhadap keanggotaanya yang enjadi objek
analisis kaum etnometodologi ini. Pengkategorian ini masing-masing disesuaikan
dengan fungsinya. Misalnya kategori atasan – bawahan, dimana kategori ini
berkembang dari konsep yang bersifat linguistic (alamiah), akhirnya menjadi
konsep tentang suatu knyataan sosial. Dalam konteks ini, masing –masing kategori
ini mempunyai norma dan aturan mainnya sendiri, dalam kategori “atasan –
bawahan”, ada peraturan kepegawaian yang mengatur tentang hal itu. Contoh dalam
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM-Mandiri) ditingkat masyarakat
dibentuk kelompok yang dianggap sesuai kordinator relawan yang disebut BKM
(Badan Kordinasi Masyarakat) yang memiliki kelompok lain yang membantunya yaitu
KSM (Kordinator SwadayaMasyarakat) diman Aksm ini memiliki tiga bidang kegiatan
yaitu UPK (Usaha Pembinaan Keuangan),
UPS (Usaha Pembinaan Sosial) dan UPT (Usaha Pembinaan Teknik). Semua kelompok
masyarakat ini adalah relawan yang secara ikhlas bersedia bekerja tanpa di
bayar bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Sebagai relawan tentu saja mereka
memiliki banyak masalah dan keluhan dilapangan. Ketika relawan ingin
menyampaikan keluhan dan kesulitan yang mereka hadapi tentang realistis
masyarakat melalui surat kepada KMP (Konsultan Manajemen Pusat), tentu saja
dicegah oleh para fasilitator PNPM-Mandiri sebagai pendamping mereka dilapangan
. fasilitator menyarankan agar para relawan menyampaikan masalahnya pada mereka
untuk dibahas dengan senior fasilitator dan tidak langsung ditujukan ke pihak
pusat. Relawan sosial ini termasuk dalam kategorisasi anggota. 6
BAB III
CONTOH STUDI
Inti etnometodologi
tidak terletak pada pernyataan teoritis saja, tetapi terletak
pada studi empiris. Apa yang diketahui secara teoritis berasal dari hasil studi. Berikut contoh-contoh studi empiris etnometodologis:
pada studi empiris. Apa yang diketahui secara teoritis berasal dari hasil studi. Berikut contoh-contoh studi empiris etnometodologis:
a. Prestasi menurut jenis
kelamin (Contoh Umum)
Pandangan etnometodologi mengenai jenis kelamin
dapat ditelusuri ke salah satu demonstrasi Garfinkel (1967) yang kini telah
menjadi klasik tentang kemanfaatan orientasi etnometodologi. Pada tahun 1950
Garfinkel bertemu dengan seseorang yang bernama Agnes, jika dilihat dari rupa,
bentuk tubuh, corak kulit dan make up yang digunakannya, jelaslah terlihat
bahwa dia terlihat seorang wanita. Kenyataannya sejak lahir dia ditakdirkan
sebagai seorang laki-laki.
Pada saat berusia 16 tahun dia merasa serba
salah karena dengan fisik seorang laki-laki tetapi jiwanya wanita, keadaan tersebut
merasa dirinya serba salah, hingga pada saat itu agnes lari dari rumah dan
mulai berpakaian seperti seorang gadis. Dia segera mengetahui bahwa dengan
berpakaian wanita saja beum cukup, dia belajar bertindak seperti wanita karena
dia ingin diterima sebagai wanita.
Garfinkel tertarik pada penerimaan kebiasaan yan
memungkinkan agnes berfungsi sebagai seorang wanita dalam masyarakat. Pendapat
yang lebih umum disini adalah bahwa kita tak lahir semata-mata laki-laki atau
wanita, kita semua juga belajar dan membiasakan diri dengan kebiasaan sehari
yang memungkinkan kita diterima sebagai laki-laki atau wanita. Menurut
pengertian sosiologi, hanya dengan mempelajari dan menggunkan kebiasaan inilah
kita dapat menjadi seorang laki-laki atau wanita. Jadi, penggolangan seperti
ini yang selama ini dipikirkan sebagai status yang diwarisi dapat dipahami
sebagai kecakapan menyusun kebiasaan yang ditetapkan.
b. Interview kerja (Contoh
Studi Setting Institusi)
Beberapa pakar etnometodologi mengalihkan
perhatian mereka ke dunia pekerjaan. misalnya, Button (1987) meneliti wawancara
pekerjaan. Tidak mengherankan, ia melihat wawancara sebagai percakapan yang
berurutan dan “sebagai kepandaian praktis yang diletakkan kedua belah pihak
pada suasana itu”(B utton,1987:160). Persoalan yang dibahas dalam studi ini
meliputi hal-hal yang dapat dilakukan pewawancara, setelah jawaban diberikan,
beralih kepertanyaan lain, dan dengan cara demikian mencegah orang yang
diwawancarai kembali dan mengoreksi jawabannya semula. pertama, pewawancara
dapat menyatakan bahwa wawancara secara keseluruhan sudah selesai. kedua,
pewawancara dapat mengajukan pertanyaan lain yang mengalihkan pembicaraan ke
arah yang berlainan. ketiga, pwawancara dapat menilai jawaban yang diberikan
sedemikian rupa sehingga orang yang diwawancarai menghindar dari keinginan
untuk ditanyai kembali.
c. Contoh analisis
percakapan
Percakapan telepon : pengenalan dan pengakuan
Emanuel A. Schegloff (1997) memandang pengujiannya tentang cara membuka
percakapan telepon sebagai bagian upaya lebih besar untuk memahami ciri
keteraturan interaksi sosial: Penelitian yang kami lakukan memusatkan perhatian
pada organisasi interaksi sosial. Kami menggunakan audio dan videotape untuk
merekam interaksi yang terjadi secara alamiah dan mencatat hasil rekaman untuk
menemukan dan mendeskripsikan fenomena yang teratur dari percakapan dan
interaksi yang berlangsung. Kami juga berupaya melukiskan organisasi sistematis
dari percakapan dan interaksi itu dengan merujuk pada fenomena yang
dihasilkannya (Schegloff, 1979: 24, huruf miring oleh pengarang).
Dalam konteks ini Schegloff memperhatikan
pembukaan percakapaan telepon yang didefinisikan “tempat di mana jenis
percakapan yang dibuka dapat diajukan, ditunjukan, diterima, ditolak,
diubah-singkatannya, percakapan baru dapat dimulai bila gagang telepon diangkat
oleh kesua belah pihak” (1979:25). Meski percakapan dengan telepon tak berbeda
dari percakapan dengan tatap muka, namun pihak-pihak yang berbicara melalui
telepon tak mengalami kontak visual.bSchegloff mengemukakan bahwa pembukaan
percakapan sering sangat terus terang dan terkesan baku.
KESIMPULAN
- “metode” yang digunakan orang
dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari pada suatu kelompok.
- Penelitian etnometodologi dilakukan bertujuan untuk
peneliti dapat mengerti,mengubah dan menampilkan kenyataan baru
berdasarkan lingkungan harian yang diinginkan dari objek penelitian
(orang/kelompok yang diteliti).
- Strategi Penelitin metode etnometodologi
ada 3 yaitu
a. Strategi
Responsive hal yang diungkap adalah Bagaimana sesorang menanggapi yang pernah
dialaminya.
b. Strategi
Proaktif Hal Yang diungkap adalah reaksi orang erhadap situasi atau bahasa
c. Strategi
Subversif Menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan oleh
seseorang dalam kehidupan sehari-harinya
- Tahapan
pengumpulan data metode etnometodologi adalah
a. Wawancara
Informal didasarkan sepenuhnya didasarkan
pada berkembangnya pertanyaan spontan
dalam interaksi alamiah.
b. Wawancara
dengan pedoman umum peneliti dilengkapi
dengan pedoman wawancara atau aspek-aspek yang akan dibahas
c. Wawancara
dengan pedoman standar terbuka yaitu pedoman
wawancara ditulis secara rinci dan
lengkap dengant set pertanyaan
Ellys Lestari
Pembayun, Qualitative Research Methodelogy in Communication, (Jakarta: Lentera
Ilmu Cendikia,2013).
Elvinaro
Ardianto, Metodelogi Penelitian untuk Public Relation, (Jakarta: Simbiosa
Rekatama Media, 2011).
Parsudi
Suparlan, Paradigma Naturalistik
Dalam Penelitian Pendidikan (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2000), 53.